Pasca-Harry Potter pada tahun 2012, ada kekosongan besar dalam kehidupan baca-membacaku. Aku masih memiliki sederet penuh buku di lemariku, namun sebagian besar dari mereka tidak terasa sama lagi dibaca dibanding saat Harry Potter masih ada, masih berlanjut, masih ditunggu-tunggu. Pada tahun itu, kusadari kesalahan terbesarku: kehidupan fiksiku terlalu bergantung pada Harry Potter. Saat ia berakhir, maka seolah kegiatan baca-membaca fiksiku berakhir juga. Buku-buku yang lain yang berderet di lemariku tidak pernah benar-benar kuanggap sebagai sesuatu yang utuh, sebagai sesuatu yang berbeda. Mereka semua lebih kuanggap sebagai companion untuk serial Harry Potter, buku-buku yang layak dibaca di waktu senggang sembari menunggu Harry Potter berikutnya terbit, atau filmnya muncul.
Hal tersebut berubah pada pertengahan tahun itu. Membeli iPad dari hasil kerja paruh-waktu, aku menggunakannya untuk banyak hal – dari ber-facebook-ria, menonton film, video, mendengarkan musik, blogging, hingga membaca buku. Aplikasi iBooks merupakan aplikasi pembaca ebook pertama yang kugunakan, dan aku sangat senang menggunakannya. Membaca di iBook sangat nyaman, natural. Oleh karena itu, aku mencoba mengunduh banyak buku. Salah satunya adalah Ender’s Game, sebuah buku yang akhirnya mendobrak stagnasi kehidupan membacaku.
Dari konsep, Ender’s Game merupakan kisah yang sederhana: di masa depan, sebuah ras Alien bernama Bugger telah menyerang bumi dua kali. Setiap kali mereka menyerang, mereka merusak dan menghancurkan banyak hal, memorak-porandakan dunia, dan setiap kali juga manusia hanya menang tipis melawan mereka. Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan ketiga, pemerintah dunia membentuk sebuah pasukan khusus, terdiri atas anak-anak jenius dari seluruh dunia, direkrut dan diambil dari orangtua serta keluarga mereka, dan dilatih dalam sekolah peperangan yang sangat ketat, disiplin, dan menekan. Pasukan khusus tersebut diharapkan dapat memiliki segala keahlian yang diperlukan dalam rangka menyambut gelombang serangan ketiga Alien Bugger.
Salah satu dari mereka adalah Andrew ‘Ender’ Wiggin. Anak ketiga dari tiga bersaudara, Ender merupakan keganjilan tersendiri sejak kecil. Di dunia dimana memiliki anak ketiga adalah sebuah tabu, dimana mempunyai dua anak pun bisa dicela, Ender telah mengalami bully sejak kecil dari anak-anak lainnya di sekolah. Kehidupan masa kecilnya tak bisa disebut bahagia: kakak tertuanya, Peter, membencinya, dan kedua orangtuanya pun tampak agak ragu-ragu dalam menunjukkan kasih sayang mereka. Hanya Valentine, kakak keduanya, yang mencintainya sepenuh hati, melindunginya dan senantiasa menyayanginya. Dan, suatu hari, melihat potensi besar yang ada dalam dirinya, pemerintah dunia, dengan bendera komando International Fleet – pasukan luar angkasa manusia – merekrutnya dan membawanya ke Battle School, dimana ia menghabiskan bertahun-tahun dalam pendidikan militer yang menguras masa kecilnya.

Meski terdengar sederhana, mungkin sesuatu yang sangat menarikku saat aku pertama kali membacanya adalah narasinya yang begitu mengalir. Setiap dialog terasa alami, setiap pikiran, tindakan, terasa bermakna. Visualisasi yang dibuat Orson Scott Card untuk Battle School terasa sangat riil, hingga rasanya nyaris tak bisa dipercaya. Battle Room – sebuah ruangan permainan pertempuran yang berada di inti sekolah tersebut – bahkan digambarkan dan dikonsepkan dengan detil.
Bagi seseorang yang hapal nyaris semua mantra di Harry Potter, dan gemar akan detil-detil kecil seperti itu dalam sebuah buku fiksi, hal tersebut sangat memikat bagiku. Mereka tidak hanya membangun dunia dalam cerita tersebut. Bagiku, detil-detil seperti itulah yang membuat dunia Ender terasa sangat nyata.
In the moment when I truly understand my enemy, understand him well enough to defeat him, then in that very moment I also love him. I think it’s impossible to really understand somebody, what they want, what they believe, and not love them the way they love themselves. And then, in that very moment when I love them…. I destroy them.
Selain itu, ada banyak isu-isu dan topik-topik kontroversial yang terdapat di dalamnya. Tengoklah perekrutan anak sejak bahkan sebelum mereka mencapai usia 10 tahun untuk menjadi prajurit. Pertempuran dan genosida yang dilakukan oleh anak-anak seusia tersebut, begitu pula dengan pembunuhan yang mereka lakukan, apakah justifiable? Sanggupkah kita mengirimkan mereka ke medan perang? Bermoralkah hal tersebut? Dan itu baru satu. Masih banyak lagi topik-topik lainnya yang mungkin, bagi beberapa orang, akan terasa tidak nyaman membacanya. Namun, bagiku yang sedang sangat ingin menemukan hal baru saat itu, kisah tersebut terasa luar biasa.
Ender’s Game terasa sangat riil. Untuk pertama kalinya, aku menemukan sebuah buku yang, saat aku selesai membacanya, aku bisa berkata dengan yakin bahwa buku tersebut jauh lebih bagus dibandingkan Harry Potter.
That is the earth, he thought. Not a globe thousands of kilometers around, but a forest with a shining lake, a house hidden at the crest of a hill, high in the trees, a grassy slope leading upwards from the water, fish leaping and birds strafing to take the bugs that lived at the border between water and sky. Earth was the constant noise of crickets, and winds, and birds. And the voice of one girl, who spoke to him out of his far-off childhood. The same voice that had once protected him from terror. The same voice that he would do anything to keep alive, even return to school, even leave Earth behind again for another four or forty or four thousand years.
Pertama kali membaca paragraf tersebut, mataku menjadi berkaca-kaca, bulu kudukku merinding. Aku sudah membaca banyak buku romansa, atau buku-buku inspiratif, atau buku-buku percintaan sejak dulu hingga sekarang, dan aku belum menemukan sesuatu yang bisa menyamai ungkapan kasih sayang yang tertulis dalam satu paragraf di atas saja.
Definitely a cut above.
Orson Scott Card menulis Ender’s Game sebagai awal dari sebuah saga yang membentang selama ribuan tahun sepanjang galaksi dan bintang-bintang. Namun, menurutku, Ender’s Game sangat luar biasa sebagai standalone story. Menurutku, kisahnya di buku ini sudah cukup sempurna. Sebentar lagi bahkan film Ender’s Game akan dirilis, dan aku yakin, setelah filmnya, pasti buku edisi Bahasa Indonesia-nya akan diterbitkan juga. Kalau sudah terbit, segeralah beli dan baca juga. Kalau tidak bisa menunggu, silakan beli versi Inggris-nya.

I have noticed you don’t monetize your blog,
don’t waste your traffic, you can earn extra cash every month because you’ve got high quality content.
If you want to know how to make extra money, search for:
Boorfe’s tips best adsense alternative