The Age of Miracles: Yang Pernah Ada

18044961

Tepat dua hari sebelum berangkat praktek lapang di gunung selama tiga minggu penuh, aku menemukan buku ini di Gramedia. Ditaruh di bagian ‘Young Adult’, aku merasa tertarik pada sampulnya yang sangat simpel: langit berwarna keunguan, seorang anak perempuan yang tampak seperti melayang, dan bangkai seekor burung.

Buku itu sangat kontras dibandingkan buku-buku YA lainnya di rak yang sama, seperti Hunger Games, Percy Jackson, City of Ashes, dan banyak lagi. Karena keunikan sampulnya – dan sesuatu alasan lain yang sulit untuk kujelaskan, mungkin perasaan ‘seram’ yang kurasakan saat menatap sampul buku ini – aku menariknya dari rak, dan membaca ringkasan di sampul belakangnya.

Tanpa ada yang tahu penyebabnya, rotasi Bumi mendadak mulai melambat. Siang dan malam semakin panjang, gravitasi berubah, lingkungan hidup jadi kacau balau.

Sambil berusaha menerima segala perubahan alam di sekelilingnya, Julia juga harus mengadapi berbagai masalah lain – pernikahan orangtuanya yang retak, teman-teman lama yang meninggalkannya, kerumitan cinta pertama. Dan sementara Julia menyesuaikan diri, perlambatan rotasi Bumi terus berlanjut.

Membacanya, aku langsung menyadari bahwa buku ini menyerupai buku-buku YA lainnya yang sedang menjamur di pasaran belakangan ini. Fiksi ilmiah? Ya. Tokoh utama remaja perempuan? Ya. Ada cinta-cintanya? Berdasarkan ringkasannya, ya. Aku melakukan pencarian cepat di Goodreads, dan mendapati ratingnya tidak terlalu bagus. Oke, ratingnya bagus, ya, tapi tidak mencapai empat bintang. Sejenak, buku ini jadi tidak semenarik sebelumnya. Tidak begitu layak untuk dibeli.

Namun, ada sesuatu yang mendorongku untuk membelinya. Mungkin ringkasannya yang sederhana tanpa menyingkap apa pun. Mungkin sampulnya yang sempat membuatku merinding. Yang jelas, aku membelinya dan membawanya bersamaku ke praktek lapang selama tiga minggu di gunung.

Aku sangat senang aku melakukannya. Karena, kalau aku tidak membelinya, pastilah aku sudah sangat menyesal sekarang ini.

Saat itu perhatian kami teralihkan oleh cuaca dan perang. Kami tidak tertarik pada masalah perputaran bumi. Bom terus meledak di jalanan negara-negara jauh. Badai datang dan pergi. Musim panas berakhir. Tahun ajaran baru dimulai. Jam berdetik seperti biasa. Detik mengumpul jadi menit. Menit tumbuh menjadi jam. Dan tidak ada tanda-tanda bahwa jam tidak lagi mengumpul jadi hari, yang panjangnya sama dengan yang diketahui setiap manusia.

Saat mulai membaca buku ini, di tengah-tengah hutan tanpa sinyal ponsel maupun internet, pertanyaan terbesarku adalah: apa yang terjadi jika bumi mendadak melambat?

Jawabannya tercantum dalam buku ini, dari mata seorang anak remaja biasa. Bencana, tentu saja. Kekacauan iklim, samudra, lautan, daratan, kematian satwa-satwa, dan lebih banyak lagi. Kegilaan. Orang-orang berdiri di sudut-sudut jalan, berteriak dengan suara yang serak, menjeritkan Kiamat yang telah tiba dan Pembalasan akan jatuh pada kita semua. Itu standar. Aku sudah banyak membaca cerita-cerita end of world lainnya di buku-buku sebelum The Age of Miracles. Oleh karena itu, aspek fiksi ilmiahnya tidak terlalu menggangguku. Cukup standar.

Yang membuatku amat tertarik, dan terpukau, adalah: 1) Prosanya. Setiap kalimat ditulis seolah siap untuk dijadikan kata-kata mutiara. Setiap dua halaman, kurang lebih, ada kata-kata yang mampu menggetarkan hati. Membuat merinding. Dan yang berikutnya, 2) Sudut pandang yang unik.

Kenapa unik? Karena, sepanjang yang kutahu, belum pernah ada novel dengan tema apocalyptic world lainnya yang membawakan ceritanya dari sudut pandang remaja, dan mampu menggambarkan remaja tersebut sebagaimana remaja yang seharusnya. Masih belum mengerti? Yang kumaksudkan adalah: remaja di sini amat, sangat, normal.

Age-of-Miracles-art

Di buku ini, tidak ada remaja yang mampu menembak zombie dari jarak dua puluh meter. Tak ada remaja yang memimpin sebuah kelompok perlawanan menghadapi batalyon Daemon. Tak ada remaja yang mendadak memiliki kekuatan sihir. Yap, seandainya saja segala tema apocalypse di buku ini dilucuti, buku ini dapat berdiri sendiri sebagai cerita remaja biasa. Namun, tema apocalypse-nya ada, dan sangat kuat, dan tokoh utamanya bertingkah sebagaimana remaja pada umumnya kalau menghadapi ‘kiamat’: Panik. Takut. Khawatir. Mati Rasa. Dan Takut lagi. Namun, ada secercah harapan juga di dalamnya. Dan kepasrahan seluruh umat manusia, ketidakmampuan kita untuk melakukan apa-apa…

Tetapi di antara artefak-artefak yang tidak akan pernah ditemukan – di antara benda-benda yang akan hancur lama sebelum seseorang dari suatu tempat tiba – ada sepetak trotoar di jalanan California. Pernah, pada satu siang yang gelap di musim panas, pada penghujung tahun perlambatan yang menyusut, dua anak berlutut bersama di tanah yang dingin. Kami mencelupkan jari-jari di semen yang basah, dan menulis hal yang paling jujur, sederhana – nama kami, tanggal, dan kata-kata ini: Kami pernah ada di sini.

Membaca buku ini, dikelilingi oleh pepohonan, hutan, dan pegunungan, tanpa sambungan internet dan teknologi lainnya, mampu membuatku berintrospeksi. Mengenai betapa lemahnya kita, betapa ringkihnya kehidupan kita ini. Sekali dorong, dan segalanya akan runtuh. Untuk apa kita bersombong hati? Untuk apa kita berbangga, berfoya-foya ria? Kenapa kita tidak menghabiskan seumur hidup kita untuk berusaha berguna, dan bermanfaat, bagi sesama alih-alih meledakkan dan menembaki satu sama lain dengan butiran timah panas serta serpihan logam tajam?

Satu hal yang sangat kusayangkan – tapi, di sisi lain, juga kukagumi – adalah buku ini tidak benar-benar memberi ending. Mungkin memang itu keinginan penulisnya: untuk memberi sedikit sentuhan realistis. Karena bagaimana kita bisa menemukan closure dari ‘kiamat’? Cerita-cerita yang lebih gagah berani menampilkan para pahlawan yang berjuang mencegah hancurnya dunia. Beberapa dari mereka berhasil. Banyak dari mereka yang gagal. Dalam buku ini, tidak ada pahlawan – hanya ada kita, umat manusia, mencoba bertahan hidup dengan saling berpegangan tangan hingga akhir.

Dan terakhir: aku nggak tahu buku ini masih ada di Gramed atau enggak. Soalnya, terakhir kucek, sudah tidak ada di Bogor. Sayang sekali, padahal aku mau membeli satu eksemplar lagi untuk adikku. Mungkin saking lakunya?

Yang jelas, buku ini keren.

 

2 thoughts on “The Age of Miracles: Yang Pernah Ada

Leave a comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s