Teman-teman kelahiran 1990-an awal mungkin merasakan bagaimana nyamannya tahun 2006-2009 sebagai anak SMA. Itu adalah tahun yang luar biasa: kita baru saja mendapatkan pemimpin baru yang dipilih langsung oleh rakyat. Kita sedang dalam usaha menyembuhkan diri dari jejak-jejak Orde Baru. Ekonomi tumbuh. Kebebasan tumbuh. Facebook belum booming, penghuninya belum ada yang alay. Dan buku-buku luar biasa beredar di pasaran saat itu, baik buku dari dalam maupun luar negeri.
Salah satunya, tak lain tak bukan, adalah serial Laskar Pelangi.
Serial ini merupakan sesuatu yang cukup unik. Dimulai dari buku ke-1, yang juga berjudul Laskar Pelangi, kita diajak masuk ke dalam memoar masa kecilnya Andrea Hirata. Dengan nama panggilan ‘Ikal’, Andrea menceritakan kepada kita mengenai kenyataan kehidupan di daerah terpencil. Belitong, sebuah tempat yang kaya sumber daya, namun taraf kehidupan penduduk aslinya masih rendah. Namun, di tengah-tengah daerah tersebut, dan mungkin di daerah-daerah terpencil lainnya di seluruh Indonesia, terdapat bibit-bibit kejeniusan luar biasa: Lintang, Sang Einstein. Lintang, yang kecerdasannya bagai mercusuar di tengah lautan gelap. Lintang, yang terpaksa meninggalkan sekolahnya, mimpi-mimpinya, dan pendidikannya demi menafkahi keluarganya menggantikan ayahnya. Berapa banyak lagi anak-anak sepertinya di daerah-daerah lainnya? Puluhan? Ratusan?
Pertanyaan tersebut memacu debat dan aksi-aksi di seantero Indonesia. Laskar Pelangi sukses. Andrea Hirata sukses. Belitong diangkat ke publik, dan pemerintah bahkan turun tangan, berjanji meningkatkan pendidikan di daerah-daerah terpencil. Versi bahasa Inggrisnya, yang berjudul Rainbow Troops, dirilis. Filmnya pun dirilis. Luar biasa.
Setelah itu, Andrea Hirata melanjutkan kisahnya. Sang Pemimpi berkisah mengenai anak-anak SMA, para remaja, di daerah tersebut: mengenai, sekali lagi, para pemimpi. Anak-anak muda dengan ribuan angan-angan, bebas, tak terikat: siapa yang bisa menghentikan mereka? Kenyataan hidup pun mereka terjang! Buku ini pun sukses memukau para pembaca muda.
Dan yang ketiga, buku yang menjadi favorit saya sepanjang serial Laskar Pelangi: Edensor.

Sejak kecil, aku ingin pergi ke luar negeri. Untuk alasan apa pun – apakah jalan-jalan, sekolah, kerja, atau bahkan sekedar melintas – saya ingin melakukannya. Aneh, padahal aku sendiri, semasa itu, belum pernah menginjakkan kaki di luar Pulau Jawa. Aku belum pernah mengunjungi bagian lain mana pun dari Indonesia selain Jawa.
Namun, dorongan untuk bisa ke luar negeri – terutama ke Eropa – semakin besar seiring bertambahnya usiaku. Mungkin hal itu dikarenakan buku-buku yang kubaca, seperti Harry Potter, mengisahkan banyak hal mengenai negara-negara di luar sana. Daratan Eropa yang luas. Rusia yang dingin dan bertangan besi. Cina yang raksasa. Afrika yang panas. Dan masih banyak lagi.
Tapi, untuk apa sih aku mau ke sana?
Jawabannya datang menghantamku telak-telak saat aku membaca Edensor: “Untuk jalan-jalan!”
“Jalan tempat berparade, pamer kejayaan, juga tempat menggelandang. Jalan tempat lari dari kenyataan, tempat mencari nafkah. Orang hilir mudik di jalan, mereka bergerak indah, melamun, riang, dan berduyun-duyun, siapa mereka? Ke manakah mereka?”
Mungkin aneh, tapi pada saat aku membaca Edensor, aku sudah mulai terbiasa dengan gaya bahasa Andrea Hirata yang amat metaforik, lancar, lembut, sekaligus meledak-ledak dalam alirannya. Sangat enak untuk dibaca. Pertama kali aku membaca Laskar Pelangi – persentuhan keduaku dengan buku sastrawi setelah Mimpi-Mimpi Einstein – aku terpana-pana. Tentu saja, kalimat-kalimatnya luar biasa! Tapi, di buku ketiga, gaya tersebut sudah mulai kuterima – dan aku yakin sebagian besar dari teman-teman juga bakal terbiasa dengannya jika membaca Laskar Pelangi minimal 3 kali seminggu (this I did. Seriously.) hingga hampir hapal dengan isinya. Saking sukanya.
Namun, Andrea Hirata mengejutkanku lagi dengan sesuatu yang baru: alih-alih menggunakan kata-kata untuk menarasikan, untuk menceritakan, untuk shows apa yang terjadi, gagasan-gagasan dan idenya, ia menggunakannya untuk tell: mendeskripsikan yang ada di novelnya.
Hasilnya? Satu buku penuh berisikan pembayangan kehidupan di Eropa, traveling-nya, kegiatan perkuliahannya, yang luar biasa.
Aku suka mempelajari motivasi orang, mengapa ia berperilaku begitu, mengapa ia seperti ia adanya, bagaimana perspektifnya atas suatu situasi, apa saja ekspektasinya. Ternyata apa yang ada di dalam kepala manusia seukuran batok kelapa bisa lebih kompleks dari konstelasi galaksi-galaksi dan Kawan, di situlah daya tarik terbesar menjadi seorang life observer. Aku bergairah menemukan kelasku di Sorbonne. Mahasiswa-mahasiswa dari beragam bangsa di dalamnya membuat kelasku seperti laboratorium perilaku. Kelasku bukan sekadar ruang untuk belajar science tapi juga university of life.

Dengan buku ini, Andrea Hirata berhasil menggelitikku dengan dua hal: yang pertama adalah bahwa kehidupan kuliah itu gawat – dan ternyata, saat ini terbukti dengan telak. Kemudian yang kedua, adalah bahwa Eropa itu memang amat, sangat menarik untuk ditelusuri.
Dan jika kita berupaya sekuat tenaga menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya itu hasilnya masih nihil, maka sebenarnya kita telah menemukan apa yang kita cari dalam diri kita sendiri, yakni kenyataan, kenyataan yang harus dihadapi, sepahit apa pun keadaannya.

Dan mungkin perlu kusampaikan juga: I made it. Aku berhasil ke Eropa pada tahun keduaku di SMA, beberapa bulan setelah membaca buku ini. Dan sama seperti yang dituliskan oleh Andrea Hirata, Eropa, bagiku, sebelumnya sangat tak terbayangkan jauh dan asingnya. Namun, di Eropa sana, berdiri di bawah menara emas katedral di Kiev, memandang bentangan padang rumput hingga cakrawala, dan curi-curi waktu dan tempat untuk Shalat di tengah-tengah kastil Chernivtsi, aku menyadari satu hal: betapa kecilnya diriku di dunia ini, dan betapa besarnya Sang Maha Besar yang menggenggam takdir kita.
Aku berharap, suatu hari nanti, bisa kembali berkelana ke berbagai tempat. Dimulai dari Indonesia, lanjut ke dunia. I want to see everyone. I want to see everything.
Dan aku ingin mendapatkan hikmah dari semua itu 🙂
“Ibu, dapatkah memberi tahuku nama tempat ini?”
Ia menatapku lembut, lalu menjawab.
“Sure iof, it’s Edensor….”
2 thoughts on “Edensor”