Di sebuah kota kecil bernama Blackeberg, di bawah musim dingin yang membeku, seorang anak laki-laki bernama Oskar tinggal. Orangtuanya sudah berpisah, ia hidup bersama ibunya, dan sesekali mengunjungi ayahnya. Ia hanyalah anak biasa, meski sedikit kutubuku, dan karenanya menerima berbagai macam bully dari anak-anak lain di sekolahnya.
Kadang-kadang, saat ia yakin semua orang tak melihatnya, ia menusuk-nusuk batang pohon sembari membayangkan wajah anak-anak yang mem-bully-nya.
Suatu hari, datanglah sebuah keluarga baru ke apartemennya. Keluarga tersebut terdiri dari seorang pria paruh-baya dan seorang anak perempuan remaja bernama Eli. Berdua, mereka menyewa kamar, menjadi tetangga Oskar. Oskar berkenalan dengan Eli, dan mereka mulai berteman.
Tapi, ada sesuatu yang ganjil dengan keluarga Eli. Ayahnya sering pulang-pergi malam. Eli berkeliaran di salju tanpa baju hangat. Dan di siang hari, jendela kamar Eli selalu tertutup rapat. Belum lagi serangkaian pembunuhan yang terjadi di kota tersebut, yang kian mengarahkan Oskar pada konfrontasinya dengan kenyataan-kenyataan mengerikan mengenai Eli, keluarganya, kotanya, dan dirinya sendiri.
-b-
Dari postingan saya yang sebelumnya, saya telah ungkapkan bahwa saya adalah penggemar genre horor. Saya melahap banyak novel-novel Stephen King (Doctor Sleep, novel terbarunya, sangat keren. Akan saya ulas di sini dalam waktu dekat), R. L. Stine’s Goosebumps (yang membuat saya merinding habis-habisan pas masih kecil), H. P. Lovecraft, Neil Gaiman, T. E. D. Klein, dan masih banyak lagi.
Dari pengalaman saya membaca novel-novel genre tersebut, saya mendapati bahwa horror yang benar-benar ‘horor’ – atau, dengan kata lain, seram – bukanlah horor yang mengulas mengenai gore. Bukan pula mengenai pembunuhan, mutilasi, atau hantu-hantu. Bukan apparatus atau ilustrasinya pula yang membuat saya merasa sebuah cerita horor menyeramkan.
Yang membuat cerita horror menyeramkan, menurut saya, adalah sense of helplessness yang terdapat di dalam cerita.
Mungkin teman-teman perasaan seperti itu. Perasaan yang membuat teman-teman berpikir, “Ya Tuhan, mending mati aja deh” daripada menghadapi sebuah situasi.
Contoh sederhana: teman-teman dapat PR mengerjakan tiga soal esai yang sulit banget dari buku. Selesai. Terus tinggal tidur, pagi-pagi bangun, ke kelas, dan ada teman yang minta cocokin jawaban. Anda keluarkan lembar PR punya Anda, tunjukin, dan dia bilang, “Lhoh, kok ngerjainnya yang ini? Halaman 12 tahu, bukan halaman 11.”
Now die.
Tidak perlu jauh-jauh, ternyata. Sehari-hari saja bisa menjadi horror yang sangat mengerikan, ‘kan?
Itulah yang diangkat di Let The Right One In: kehidupan sehari-hari. Kenyamanan dunia modern akan rutinitas. Dunia yang kelabu, kecil, dan terbatas. Bangun, berangkat sekolah, belajar, jadi anak rajin, hadapi bully, dan kembali ke rumah. Hati ini rasanya kesal karena berbagai hal, dari bully hingga orangtua sendiri. Dan tidak ada apa-apa yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya.
Setidaknya, hingga Eli tiba.
-b-
Hanya satu hal yang kurang. Masa lalu. Di sekolah, anak-anak tidak ditugasi membuat proyek-proyek khusus tentang sejarah Blackeberg, sebab memang tidak ada sejarah.
Let The Right One In menyentuh banyak isu-isu sensitif. Sebutkan satu-satu, dari pedofilia, pelacuran, seks di bawah umur, transeksual, kekerasan, semua masalah-masalah seperti itu ada.
Tapi, di saat bersamaan, ia juga menampilkan kasih sayang, cinta, dan harapan. Lalu, di atas itu semua, novel ini juga menuturkan apa-apa yang kita siap lakukan demi orang-orang yang kita cintai.
Disturbing, tapi lovely.
Narasinya dibawa a la Stephen King: kisah kota kecil, penduduknya, masalah sosialnya, semuanya dibahas. Tak tanggung-tanggung, satu per satu. Hal tersebut membuat novel ini menjadi panjang, dan di banyak tempat terasa sangat lambat. Beberapa kali, saya mendapati adanya tokoh-tokoh yang nggak saya peduliin tapi menjadi sudut pandang cerita.
Apa yang terjadi? Siapa orang ini? Kenapa dia jadi fokusnya?
Untungnya, hal-hal tersebut terjadi selalu dengan alasan yang kuat. Meskipun, tetap saja, membuat novel ini sangat nggak cocok untuk yang menyukai fast-paced horror story.
“Aku… tidak membunuhi orang-orang.”
“Memang tidak, tapi kau ingin. Kalau bisa. Dan kau benar-benar akan melakukannya kalau terpaksa.”
Horrornya klasik, vampirnya klasik, namun dijejalkan dalam kehidupan modern. Hal tersebut membuat kita melihat culture clash dan konflik psikologis antara sang vampir dengan dunianya, yang terus berubah sementara ia abadi. Penceritaan dari sudut pandang vampir, untungnya, dilakukan dengan sangat baik. Aksi-nya kerasa, horrornya kerasa, gore-nya apalagi.
Truly classic, sedikit banyak mengingatkan saya terhadap Dracula yang legendaris.
Meski demikian, penutup novel ini – dan perangkum kisah ini – dilakukan dengan sangat manis. Lengkap, terbuka, menyediakan ruang untuk cerita berikutnya dengan tetap mempertahankan kekuatannya sebagai standalone novel.
Singkat kata, keren.
Novel ini sudah difilmkan dalam dua film: yang pertama adalah Let The Right One In dari tahun 2008, dan yang kedua adalah Let Me In dari tahun 2010. Yang satu versi Swedia, yang satu Amerika. Saya nggak bakal bilang mana yang lebih bagus, tapi yang jelas dua-duanya mantap. Adaptasi yang bagus dengan tetap mempertahankan unsur-unsur yang membuat novel ini menakjubkan.
Truly worth watching.
trailer:
One thought on “Biarkan Aku Masuk (Let The Right One In)”