Jika alien sampai mengunjungi kita, menurutku konsekuensinya akan hampir serupa dengan ketika Christopher Columbus pertama kali mendarat di Amerika, yang ternyata dampaknya tak terlalu bagus bagi penduduk asli Amerika.
-Stephen Hawking
Setelah dekade demi dekade perdebatan mengenai “apakah kita sendirian di alam semesta”, akhirnya para Alien tiba. Mereka ‘memarkir’ kendaraan mereka di luar angkasa, dan setelah kepanikan yang mengiringi kemunculan mereka, seluruh dunia mencoba move on. Melanjutkan hidup. Mereka tak menunjukkan tanda-tanda ingin berkontak, jadi untuk apa peduli? Hanya para ilmuwan dan politikus dan orang-orang atas yang masih berdebat habis-habisan.
Protagonis kita pun salah satu dari yang mencoba tetap hidup seperti biasa, pergi ke sekolah, bertemu teman-temannya, pulang ke rumah, ngobrol dengan sahabatnya, naksir cowok, dan seterusnya. Normal.
Kemudian, serangan demi serangan datang. Gelombang demi gelombang, tanpa para Alien turun ke bumi. Pada gelombang serangan yang pertama, mereka mematikan seluruh listrik di bumi. Kedua, mereka menjatuhkan tonggak besi yang menusuk patahan benua, menimbulkan gempa dan tsunami dalam skala raksasa. Ketiga, mereka menyebarkan penyakit menggunakan burung-burung di bumi. Keempat, mereka merasuki tubuh manusia dan memburu orang-orang yang tersisa satu per satu.
Tanpa ada yang bisa dipercaya, protagonis kita, seorang gadis remaja bernama Cassie, mencoba bertahan hidup seorang diri. Tapi, ia memiliki tujuan: menyelamatkan adiknya dari cengkeraman para Alien. Di saat yang sama, seorang remaja laki-laki mendapati dirinya diselamatkan oleh militer, yang melatih dirinya – dan ratusan anak muda lainnya yang selamat – untuk bersiap bertempur melawan Alien.
Namun, kapan para Alien akan benar-benar turun ke bumi untuk menghadapi kita? Kapan gelombang serangan kelima akan tiba? Apakah akan ada gelombang kelima? Kalau ada, seperti apa serangan tersebut nantinya?
-a-
Sudah lama berselang sejak manusia menjadi mangsa binatang… Namun dalam gen kita, ingatan tersebut terkubur dalam-dalam: kewaspadaan kijang, naluri antelop. Angin yang berbisik menembus rerumputan. Bayangan yang berkelebat di sela-sela pepohonan. Dan ada suara lirih yang berbisik, Sst, dia sudah dekat. Dekat.
Belakangan ini, ada semacam trend untuk membuat novel-novel young adult menjadi lebih realistis, mengena, dan akurat (cek: Divergent, Starter, More Than This). Lebih jauh lagi, ada dorongan untuk memberikan karya-karya fiksi ilmiah/sci-fi yang menampilkan ‘serbuan’ Alien yang lebih seru (cek: Dark Skies). ‘Seru’ di sini bukan berarti ledakan-ledakan, aksi non-stop, tapinya: ‘seru’ di sini berarti Alien digambarkan sebagaimana apa yang diimplikasikan oleh Prof. Stephen Hawking sebagaimana terkutip di atas – kata-kata yang juga dikutip di bagian paling awal novel ini: Alien itu cerdas.
Sebuah klise/trope yang sejauh ini sering digunakan dalam kisah penyerbuan Alien ke bumi adalah, pada akhirnya, manusia dapat mengesampingkan berbagai perbedaan mereka dan mengalahkan Alien dengan power of friendship atau, lebih ‘mantap’ lagi, pure unused potential. Klasik, dan meski memang terasa seru, tampilan ini – menurut saya sendiri – tak realistis. Karena, mari renungkan: sebuah ras yang mampu mengatasi masalah jarak, waktu, menempuh perjalanan bertahun-tahun cahaya dari dunia mereka untuk datang ke bumi, bisa dihentikan dengan teknologi kita saat ini?
Oleh karena itu, saat saya mendapati Rick Yancey menggambarkan Alien sebagaimana mestinya – kuat, pintar, tanpa ampun, namun juga memiliki kemiripan dengan kita – saya acung jempol. Di sisi lain, keberadaan villain seperti itu membuat para protagonis kita terjerumus dalam situasi penuh keputusasaan, kesulitan, konflik fisik dan batin non-stop. Helplessness menjadi faktor utama yang menjadi api bagi novel ini.
Sehingga, dalam beberapa bagian, saya bisa mengkategorikan novel ini ke dalam genre horror tanpa ragu.
-a-
Sayangnya, sama seperti banyak novel YA lainnya, karakterisasi di novel ini masih terasa lemah. Penokohan terkuat justru ada di pihak para penjahat: dua jenis Alien, yang satu penuh rasa ingin tahu dan satu lagi tanpa ampun. Di luar itu, sulit menemukan tokoh dengan pondasi yang kuat. Bahkan Cassie, sang protagonis, terasa labil dan berubah-ubah tak menentu.
Meski demikian, dari segi plot, novel ini bisa dibilang adalah jawara. Dengan sukses, Rick Yancey membuat cerita dengan menghindari trope-trope yang klise tanpa mengorbankan alur kisahnya. Banyak kejutan di sana-sini, twist yang membuat mual karena sulit untuk ditebak, dan pertanyaan-pertanyaan yang membuat pembaca menebak-nebak hingga halaman terakhir. Penceritaan dilakukan dengan sudut pandang orang pertama, dan narasinya – meski tak begitu kuat – cukup bagus dan terasa mengalir.
Bukankah mereka cerdik?” gumam Ringer, seolah membaca pikiranku. “Pakai wajah manusia supaya tidak ada manusia yang bisa dipercaya. Satu-satunya solusi: Bunuh semua orang atau mengambil risiko terbunuh oleh siapa saja.”
Kalau boleh disama-samakan, novel ini terasa seperti The Host karya Stephenie Meyer (yang sudah dibuat jadi film layar lebar) dengan tingkat pendalaman yang lebih baik. Romansanya mungkin tidak sama dengan yang di The Host, tapi dari segi plot, banyak lubang yang sudah ditutup di The 5th Wave. Dari banyak segi, The 5th Wave juga menyerupai The Hunger Games (sebagaimana ditulis di tagline): kedua-duanya berkisah mengenai seorang remaja perempuan. Kedua-duanya berkisah mengenai upaya remaja tersebut bertahan hidup menghadapi bahaya yang tak bisa ia hadapi. Helplessness, tentu saja. Dan romansanya juga ada.
Plus, kedua-duanya menampilkan tokoh perempuan, remaja, yang kuat, mandiri, nan tangguh.
-a-
Akhirnya adalah, kami saling membunuh di balik deretan lemari pendingin bir kosong dalam cahaya matahari yang hampir lenyap pada suatu hari di pengujung musim panas.
Untuk penggemar novel YA, remaja, atau sci-fi, novel ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca. Bagus, seru, mengalir, dan memiliki plot yang kuat. (Spoiler: sekuelnya juga sedang dikerjakan).
Tapi, ada sedikit dilema: Aku kurang yakin mau mengkategorikan ini ke novel remaja. Tidak saat ada adegan-adegan kekerasan eksplisit dan seks (meski implisit). Tapi, sepertinya masih dalam kategori YA – karena, bagaimanapun juga, YA, berarti young adult (dewasa muda), ‘kan?
Bagaimanapun, novel ini totally worth reading. Persiapkan dirimu untuk terkejut.
One thought on “Gelombang 5 (The 5th Wave)”