Kadang, saya menemukan sebuah buku yang membuat saya berhenti dan berpikir: bagus sekali sampulnya! Ya, saya biasanya bukan tipe orang yang menghakimi sebuah buku hanya dari sampulnya, tapi jelas bahwa sebuah sampul buku akan bisa memengaruhi apakah seseorang akan membacanya atau tidak. Dan sampul buku ini–hal pertama yang saya lihat–sangat memukau.
Sebelum saya mulai, saya harus mengakui bahwa buku ini saya peroleh sejak lebih dari sebulan yang lalu. Saya sudah berjanji untuk mengulasnya dalam jangka waktu kurang dari tiga puluh hari. Saya membacanya, mendapati isinya begitu menarik dan mengalir, dan saya menutupnya dengan pikiran untuk segera membuat ulasannya. Tentu saja, rencana yang paling ingin dilakukan terkadang justru paling telat. Sayang sekali. Satu-satunya pembelaan yang dapat saya lakukan hanyalah ini: crazy workhour. I’ve just gotten myself a new teaching job, also there’s a new ongoing project from a publishing house…
Jadi, untuk menyingkat ini (dan saya yakin beberapa dari teman-teman sudah mulai bete ), mari masuk langsung ke bagian ulasannya.
-oOo-
The Story
Mimpi Jalanan: Arsitektur Yang Hijau Abadi, sesuai namanya, mengisahkan mengenai kehidupan beberapa mahasiswa jurusan arsitektur di Green Amazonite University. Latarnya sendiri agak rancu; sebagian menunjukkan tanda-tanda wilayah Oregon, sebagian lagi California, tapi kemungkinan besar daerahnya adalah Barat Laut Amerika. Mengetahui hal tersebut membuat saya tertarik, sebagian karena deskripsinya yang lumayan pas (rumah-rumahnya, deskripsi gedungnya, jalanannya yang dipakai untuk balapan, kota-kotanya, dan kampusnya–yang penggambarannya membuat saya terbayang-bayang pada OSU). Setting-nya working, at least for this story.
Setelah itu, ceritanya sebenarnya cukup simpel. Kita mengikuti sudut pandang beberapa orang secara berganti-gantian. Di antaranya adalah Sean, seorang mahasiswa bidang arsitektur yang kurang bisa menggambar (seriously? As someone who once wanted to be enrolled into faculty of architecture, this somehow offends me. Belum lagi kelihatannya ia tak begitu memusingkan hal tersebut 😦 ) tetapi juga seorang jutawan, pengusaha, dengan skill membalap yang sangat tinggi dan mimpi yang membara. Lalu, teman-temannya: Nathan, yang bercita-cita untuk menjadi DJ terkenal namun dibayang-bayangi trauma buruk mengenai salah satu anggota keluarganya; Rachel, mahasiswi bidang arsitektur juga yang meraih penghargaan akademik berulang-kali, namun terus memimpikan sirkuit dan dunia balap (that’s cool, btw, IMO), dan banyak tokoh-tokoh lainnya.
Semua tokoh tersebut saling berkaitan, saling bertautan, sebagian karena hubungan mereka yang saling kenal dekat pada satu sama lain serta bidang mimpi yang berkaitan. Juga, di balik bayang-bayang, seorang tokoh yang (lumayan) misterius bernama Billy. Who is he? What’s his role in their lives and dreams?
Sulit menuliskan plotnya di sini, sebagian karena saya tak mau memberi spoiler dan sebagian karena memang plotnya agak kurang padat. Kurang tegas. Itu salah satu kekurangan dalam buku ini: plotnya ceritanya yang agak lunak. Pergantian antar karakter yang begitu cepat membuat saya berpikir, “Tunggu, ini tadi sampai mana?” “Tunggu, tadi dia lagi apa?” Semacam itu. Memang, jika mau berhenti dan dirunut, ceritanya sebenarnya lurus, maju, tidak neko-neko, dari poin satu menuju poin akhir. Intinya juga jelas: kisah masing-masing karakter dalam mencapai mimpi-mimpi mereka, dan bagaimana mereka bisa melakukannya sembari menyadari kenyataan pahit yang ada di dunia, satu per satu, selangkah demi selangkah.
The Writing
Beberapa halaman pertama, saya merasa kebingungan. Saya membaca paragraf demi paragraf, mengangkat alis, kembali ke halaman judul, mengecek data penulis, ISBN, dan seterusnya, tapi tak menemukan nama penerjemah. Lalu, saya kembali membaca. Barulah saya paham bahwa buku ini memang disengaja ditulis dalam campuran dua bahasa: Inggris dan Indonesia. Perbandingannya tidak 50:50, karena sepertinya Bahasa Indonesia-nya jauh lebih dominan, tapi penggunaan Bahasa Inggris secara sisip-menyisip seperti ini cukup unik. Sangat jarang saya menemukan buku novel Indonesia yang seperti ini, dan menurut saya, membacanya menjadi sangat menantang.
Meski demikian, saya juga menyadari bahwa bahasa Inggris yang digunakan tidak terlalu baku. Dan beberapa akan bisa membingungkan bagi pembaca awam. Menggunakan dua bahasa seperti ini adalah keputusan yang berisiko dan berani, dan pastinya akan berpengaruh dalam distribusi dan penjualannya. Apakah ini keputusan bagus? Tentu hanya tim penerbit dan penulis yang bisa menilainya nantinya. Tapi, satu hal jelas: this is a strong decision. And I kinda interested in it.
(Btw, yea, I wrote this review in dual language karena ceritanya pengen sealiran dengan buku ini. Nggak apa-apa ‘kan ya? Please don’t judge me harshly )
Lepas dari bahasa, gaya penulisannya, sesungguhnya, sangat bagus. Mengalir. Pergantian adegan dilakukan dengan baik, meski hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk pergantian antar POV (sebagaimana sudah saya ungkapkan di atas). Transisinya banyak yang ‘patah’, meski mungkin tak begitu mengganggu dalam membacanya. Pemilihan diksinya bagus, bahkan untuk yang bagian berbahasa Inggris, sebagian besar menggunakan kata-kata yang ‘gaul’ tapi tetap mudah dimengerti. It’s not an easy feat to do, dan saya salut pada penulis, Angel G, karena bisa melakukannya.
The Closure
Satu kritik besar yang bisa saya berikan, mungkin, adalah pemilihan font untuk buku ini yang terasa terlalu kecil dan rapat. Cobalah tambahkan ukurannya sedikit, tambahkan juga jarak antar barisnya, dan membaca buku ini pasti menjadi sangat nyaman. Digabungkan dengan gaya tulisannya yang sangat mengalir, buku ini akan menjadi a joy to read, terutama di waktu-waktu malam, santai, atau bahkan di perjalanan kereta menuju kantor. Mungkin itu tidak penting, tapi bagi saya (yang matanya udah nggak begitu beres, sepertinya) itu nyaris menjadi dealbreaker.
Tapi, selain itu, saya berani bilang buku ini adalah one in a kind dalam dunia literasi Indonesia. Sangat jarang menemukan novel dari pengarang lokal dengan penceritaan yang begitu ‘buka-bukaan’ seperti ini. Bahkan, kalau boleh saya bilang, buku ini juga terasa sangat liberal–but more in an honest, open way.
Terlebih lagi, tema novel ini–mengenai pengejaran mimpi–adalah sesuatu yang cukup populer di kalangan anak muda, terbukti dengan begitu banyaknya novel-novel lokal yang menggemakan ‘kejarlah mimpimu’ pada tahun-tahun belakangan ini. Serial Laskar Pelangi memulainya bertahun-tahun silam, (malahan, Edensor-lah yang merangsang saya untuk mendaftar ikut lomba ke Eropa, dan, ternyata, saya lolos seleksi dan bisa benar-benar ke sana), lalu dilanjutkan dengan buku-buku seperti 5 cm, Negeri 5 Menara, dsb. A Street Dream membawa tema tersebut ke tingkatan yang lebih tinggi–sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh novel-novel sejenisnya sebelumnya. It’s open, honest, raw, and at times, hurtful to read–karena kita merasa ngilu pada apa yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalamnya. Dan, meski ada beberapa bagian yang mengganjal di ceritanya (I don’t know why, but one character in particular gets under my skin more than the others. Mungkin karena yang dia lakukan–dan miliki–terasa kurang masuk akal dan arogan 😦 ), novel ini tetap sangat unik. Menarik untuk dibaca.
Jadi, kesimpulannya: 3.5/5.0. Dan mungkin bisa saya naikkan menjadi 4.0/5.0, seandainya font-nya dibesarkan sedikit. (Sorry, Mbak Angel G!) Sekali lagi, a one-in-a-kind novel 🙂 Saya sangat merekomendasikannya untuk teman-teman semua!
One thought on “A Street Dream: The Evergreen Architecture by Angel G”