
Let’s be clear about something first: aku bukanlah penggemar novel young-adult, YA, atau dewasa-muda. Sebagian besar novel-novel dalam genre tersebut, menurutku, terlalu predictable. Karakter, cerita, plotnya, biasanya mudah ditebak. Narasinya pun seringkali berlebih-lebihan dalam membawa unsur romansa.
Mari kita cek sedikit trope karakter-karakter novel YA: seorang protagonis perempuan yang kuat, unik, dan memiliki konflik pribadi sebagai karakter utama; seorang protagonis (atau anti-hero) pria yang kuat, tangguh, cool, berkepala dingin dan sinis (bonus point: he’s always smirking) sebagai calon love interest; seorang protagonis pria yang baik, ramah, cerdas, yang menjadi sahabat baik si karakter utama (plus point: he’s in love with the MC, but don’t worry, he’ll get over it soon); serta sekumpulan orang-orang lain yang menjadi tim pembantu bagi tiga karakter tersebut, melengkapi, menambahkan konflik-konflik yang bisa jadi tidak penting sebelum akhirnya mereka semua bergabung untuk menghadapi The Big Bad One.
Ganti nama novelnya, ganti ras atau spesies yang menjadi sumber konflik (atau calon love interest), dan kau akan mendapatkan sebuah cerita YA yang hampir bisa dijamin akan laris ribuan eksemplar. Enak, ‘kan?
Oleh karena itu, pada saat aku pertama mendengar mengenai novel yang sedang naik daun satu ini, reaksiku adalah skeptis. Satu-satunya hal yang membuatku mau mengambil, membeli, dan membacanya hanyalah sampulnya yang keren. Total badass. Aku sudah menyiapkan diriku untuk kekecewaan, karena toh beberapa sampul keren belum menjamin isinya benar-benar berkualitas. Kupikir ini akan sama saja dengan kebanyakan novel YA lainnya. Trope yang sama, pembukaan yang sama, cerita yang sama…
Boy. I was wrong.
The Story
Novel ini dibuka dengan sangat bagus–right away hooking me in. Alih-alih adegan pertempuran besar atau sesuatu yang menggalau, kita dibawa ke sebuah tempat yang sepertinya adalah penjara. Seorang perempuan, tak diragukan lagi adalah calon protagonis utama kita, digiring oleh prajurit-prajurit kerajaan untuk menghadap seorang pangeran. Kita diberitahu bahwa protagonis kita adalah pembunuh, pencuri, dan ia telah dikhianati dan berkhianat balik, serta telah mengalami hal-hal mengerikan yang dideskripsikan dengan bagus (membuat ngilu, malah). Singkat kata: protagonis kita adalah narapidana, tawanan, kriminal yang berbahaya. Kenapa seorang pangeran yang flamboyan dari kerajaan adikuasa jauh-jauh datang ke lubang tersebut untuk menemuinya?
Jawabannya: untuk menawarinya kebebasan. Syaratnya: protagonis kita harus menjadi Juara sang pangeran dalam turnamen yang akan diselenggarakan oleh ayahnya, seorang Raja yang lalim yang berkuasa dari sebuah Istana Kaca raksasa (hence, Throne of Glass). Para bangsawan kerajaan, sang pangeran berkata, sedang berkeliling negeri, mencari-cari para jagoan, pendekar, dan, terutama, pendekar-pendekar untuk bertarung demi membawa nama mereka dalam turnamen tersebut. Pemenang akan mendapatkan kebebasan, dibersihkan namanya dari segala tindak kriminal yang pernah dilakukan, dan–lebih menarik lagi–menjadi Juara pribadi Raja, siap untuk digunakan dalam berbagai misi sebagaimana yang diinginkan oleh penguasa kerajaan tersebut.
Tawaran yang menarik tersebut, tentu saja, diterima oleh protagonis kita. Maka, dimulailah perjalanan panjang mereka menuju Istana Kaca, di mana ia akan dirawat, dipersiapkan, dan berlatih untuk menghadapi turnamen tersebut. Sebagai salah satu assassin paling terkenal yang pernah berkeliaran di kerajaan, tentu saja kemampuan dan ketangkasannya tak diragukan lagi. Namun, di saat bersamaan, sesuatu yang ganjil juga sedang beraksi di Istana Kaca. Sesuatu yang kuat, tua, dan berbahaya. Sesuatu yang sejak lama diperangi oleh Raja, dibersihkan dari daratannya, diusir dengan susah-payah.
Sesuatu yang mengandung magis.
Dengan berbagai intrik politik yang menghiasi istana, kapten pengawal kerajaan yang tidak memercayainya, dan Raja yang mengawasinya, mampukan Celaena bertahan hidup dan melewati turnamen ini? Lalu, apa yang menantinya di sudut-sudut Istana Kaca yang megah tersebut? Apa yang membunuhi para penghuni kastil satu per satu?
The Writing
Dua kata: aku suka. Di sampul dalamnya, dituliskan bahwa novel ini akan terasa seperti penggabungan antara The Hunger Games dan Game of Thrones. Aku setuju. Nuansa turnamen dan persaingan antar juara, hubungan dan pertemanan mereka, persekutuan dan aliansi-aliansi yang terbentuk, sepenuhnya memang mengingatkanku pada novel YA termasyhur satu itu. Intrik-intrik politiknya mengingatkanku juga pada Game of Thrones, dan di beberapa bagian, menurutku malah melebihinya. Tak seperti banyak bagian dari GoT yang terasa panjang dan tidak perlu, seluruh intrik di novel ini terasa bermakna. Seolah tiap percakapan adalah plot point yang penting (memang penting, ternyata!).
Narasinya mengalir, dialog-dialog antar karakternya juga bagus. Dalam karakterisasi, tapinya, aku merasa ada semacam repetisi antar karakter. Beberapa dari mereka jadi terasa tidak menonjol, tenggalam dalam gravitasi tokoh-tokoh lainnya. Hal ini mengingatkanku pada The Atlantis Gene, yang memiliki terlalu banyak tokoh dan konflik antar mereka, yang seluruhnya terasa seperti memperebutkan tempat terdepan dalam kisah ini.
Hal itu, secara tak langsung, juga berpengaruh pada satu hal utama: turnamen. Boy, aku tahu ini novel YA, tapi seriusan, Turnamen Triwizard di Harry Potter ke-4 terasa lebih mencekam daripada ini. Persaingan dalam lomba-lomba di turnamen ini pun tidak terasa menusuk karena aku jadi lebih tertarik pada konflik antar karakter di luar turnamen (apa maksud si pangeran tadi? Balik halaman. Aduh, malah turnamen. Skip. Caritahu dulu maksudnya barusan!). Tentu saja, mendekati final kompetisi, the stake went higher–dan sangat tinggi, malah–sampai-sampai dalam pertarungan akhir, aku merasa mencemaskan karakter utama, jangan-jangan dia tidak akan selamat.
No, seriously, sangat sulit membuatku mengkhawatirkan karakter utama dalam sebuah kisah. Malahan, satu-satunya momen aku bisa merasakan kekhawatiran tersebut adalah di film CA: The Winter Soldier. Kuncinya sebenarnya satu (sesuatu yang seringkali diabaikan oleh para penulis konflik): buat agar antagonisnya benar-benar kuat. Buat protagonis kita mendapatkan lawan yang sangat tangguh, berbahaya, tanpa ampun, hingga kelihatannya mereka tak bisa menang. Buat seperti itu, alih-alih menuliskan antagonis yang banyak omong atau membangga-banggakan kejahatannya. The Joker di TDK hampir bisa mencapai titik tersebut, but ultimately, dia juga terlalu banyak bicara.
Anyway, back to this book. Unsur-unsur YA jelas ada di dalamnya–romansa, drama, komedi, humor, dan hal-hal keanakmudaan lainnya. Tak ada masalah dalam hal-hal tersebut. Malahan, fakta bahwa kisah cinta di novel ini tidak mendapatkan ujung yang bahagia membuatku cukup senang
Singkat kata, meski masih banyak titik negatif, sisi positifnya jauh lebih besar. Penulisannya bagus.
The Closure
Throne of Glass, dalam banyak hal, berkesan bagus bagiku. Unsur political thriller di dalamnya membuat novel ini berdiri jauh lebih tinggi dan tegak dibandingkan YA sejenis lainnya. Sebagai novel epic fantasy, ia juga memberikan sebuah angin segar untuk genre yang sudah dipenuhi dengan protagonis-protagonis pria kuat-tangguh-dingin-dengan-masa-lalu-kelam ini. Worldbuilding-nya, meski jelas tidak semasif LOTR, WoT, atau Mistborn Trilogy, tetap terasa koheren dan bagus.
Aku juga baru saja menyadari bahwa novel ini merupakan karya pertama penulisnya (dan novel pertama dari serial trilogi yang sedang meroket sekarang ini dengan terbitnya buku terakhirnya). Salut pada Sarah J. Maas karena bisa menulis novel sebagus ini sebagai permulaan sebuah serial epic fantasy satu ini. Segera akan kucek dua buku berikutnya!
Kesimpulan: 4.5/5.0. Bisa dibeli di toko-toko buku impor terdekat! 😀
- Kategori: Novel
- Judul: Throne of Glass
- Penulis: Sarah J. Maas
- Penerbit: Bloomsbury U.S.A. Children’s Books
- Tebal: 406 halaman
- Tahun Penerbitan: 2013
- Format: Paperback
- ISBN: 9781619630345
Ka maaf mau nanya nih. Ini buka udah ada terjemahnkah? Terus beli nya di dimana ya? Bingung gk nemu nemu