Romansick by Emilya Kusnaidi

Cover_Romansick

Beberapa bulan silam, saya tanpa sengaja ikut serta dalam sebuah diskusi yang lumayan panas mengenai novel dan genre-genrenya. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa novel bukanlah buku bacaan yang seharusnya diberikan kepada anak-anak karena dikhawatirkan mereka akan enggan membaca buku-buku lainnya. Lebih spesifik lagi, ia mengangkat isu lama yang berada di seputaran Harry Potter, yang bisa dibilang merupakan fenoma literasi yang paling besar di abad ini.

“Teman saya dulu ada yang suka Harry Potter, dan dia kemana-mana kerjaannya baca itu melulu, ke sekolah aja dia bawa, sampai nggak tidur katanya buat baca doang. Tapi, apakah dia suka baca buku-buku lainnya? Tidak!”

Begitu dia selesai berargumen, seseorang lainnya juga turut menimpali dengan mengatakan bahwa penggemar satu genre memang biasanya terikat pada genre itu saja; bahwa penyuka buku Fantasi kemungkinan besar takkan membaca buku Fiksi Sejarah, atau penggemar genre Urban takkan menyukai Fiksi Ilmiah.

Terus terang, pertama kali mendengar hal tersebut, aku merasa tergelitik dan tertusuk. Alasannya adalah karena, untuk waktu yang sangat lama di masa lalu, hal tersebut adalah benar untuk diriku sendiri. Aku adalah tipe anak yang (hampir) sama persis dengan yang dideskripsikan tersebut. Bedanya cuman sesekali aku juga membaca novel-novel horor (aku selalu tertarik pada hantu, entah kenapa, mungkin gara-gara tinggal di dekat Nusakambangan pas kecil). Baru beberapa tahun belakangan ini aku mulai merambah ke genre-genre lainnya, keluar dari Fantasi, mencoba membaca buku-buku fiksi yang sebelumnya tidak pernah aku coba baca, atau dibayangkan saja tidak. Seiring berlalunya waktu, aku menemukan buku-buku dari genre lainnya yang sangat menarik dan bagus. Dan salah satu genre yang baru kubaca tersebut–atau, lebih tepatnya, kategori novel yang menarik perhatianku–adalah Metropop.

-oOo-

Kesukaan saya pada Metropop, kalau saya tak salah ingat, dimulai dari awal perkuliahan saya di Bogor. Novel berbau urban, roman, dan metro pertama yang saya baca tersebut berkisah mengenai seorang perempuan yang jatuh cinta di Inggris. Saya lupa judulnya, tapi dari sana, saya mulai membaca-baca lebih banyak lagi novel-novel serupa. Entah apa yang membuat saya menyukai genre yang satu ini, tapi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin fakta bahwa saya adalah orang yang ndeso membuat saya selalu tertarik pada penggambaran kehidupan ibukota yang ada di novel-novel urban dan metro pop.

Hal tersebut pun diulas lengkap dalam buku ini, Romansick, sebuah novel metropop terbaru yang ditulis oleh Emilya Kusnaidi dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Dalam novel pertama beliau ini, Emilya Kusnaidi menarasikan sebuah kisah yang berpusat pada seorang wanita karir muda bernama Audrey ‘Dre’ Kahono. Sebagai salah satu orang papan atas di dunia fashionista Jakarta, dia memiliki banyak masalah yang harus diurus dan dihadapi–dari model-model yang tidak memenuhi kualifikasi, mencari-cari isu yang bagus untuk dimuat ke majalah, mengelola konten dan pemotretan, menghadiri sesi-sesi catwalk dan pesta-pesta kaum sosialita, dan masih banyak lagi. Sesungguhnya, segalanya tidaklah buruk baginya–cukup bagus, malah, dengan karir yang terus menanjak dan dua sahabatnya yang selalu ada di sisinya sedari mereka remaja.

Hingga suatu ketika, terjadi rangkaian hal yang membuat kehidupan Dre bergejolak: yang pertama, dia menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Eren, salah satu sahabatnya tersebut. Yang kedua, Eren akan segera menikahi cewek yang sudah ia pacari sejak lama (bukan Dre). Konflik tercipta. Dan yang ketiga, yang menjadi konflik pamungkasnya, adalah munculnya seorang cowok bad boy bernama Austin yang mendekati Dre. Kini, ia berada di persimpangan jalan, antara menyatakan perasaannya pada Eren sebelum dia menikah (dan tentu saja, kemungkinan besar akan menghancurkan persahabatan mereka karenanya) atau menyambut tangan Austin yang terulur. Manakah yang akan ia pilih?

Pretty sure Eren's going to marry her. See what I did there?
The whole time I read the book I keep imagining Eren and her girlfriend like this.

Hal pertama yang mau saya komentari adalah narasinya. Saya suka. Jelas sekali penulis ingin mengisahkan cerita ini dari sudut pandang orang ketiga serbatahu, dan ia melakukannya dengan spektakuler dan nyaris sempurna. Bagi beberapa orang, barangkali tipe narasi penceritaan seperti ini tidak begitu enak dibaca, dan jujur saja, ada beberapa bagian dimana saya merasa fokusnya terlalu melompat-lompat dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Namun, begitu kita bisa menarik diri kita sedikit saja dan menempatkan posisi kita sebagai tokoh orang ketiga tersebut, membaca novel ini dari atas dan mengikuti narasinya satu per satu per karakter, membaca Romansick pun menjadi lebih nyaman dan menyenangkan.

Tak cuma itu, humor dan komedi yang dimasukkan di dalamnya juga sangat bagus. Dikombinasikan dengan gaya narasi yang mengalir, saya berhasil membaca Romansick–dari awal sampai akhir–dalam satu perjalanan bolak-balik Bogor-Jakarta dan Jakarta-Bogor di atas kereta komuter. Dan selama itu pula, saya menyadari banyak orang yang melirik ke saya, bukan karena “Widih ada orang ganteng baca buku metropop gile gile calon suami banget dah!” melainkan karena saya berkali-kali ngakak, mendengus geli, tertawa, dan senyam-senyum di banyak bagiannya. C’est parfait, kalau boleh kubilang–salah satu gaya kepenulisan terbagus dari seorang novelis Indonesia baru yang pernah saya baca.

Konflik? Oke, mengenai cinta segitiga (atau segiempat, jika kita menghitung calon istrinya si Eren. Segilima, jika menghitung teman dekatnya Austin yang ternyata naksir dia. Dst.). Resolusi? Oke juga. Tapi, di sisi lain, keduanya juga menjadi kelemahan novel ini: mereka agak predictable. Agak lho, bukan terlalu, karena di luar dugaan, ada juga twist dan turn yang turut membuat tertarik untuk terus membalik halamannya hingga akhir. Ceritanya yang bisa menjurus ke klise terselamatkan oleh gaya penceritaannya yang bagus, kalau boleh saya bilang.

Satu-satunya nilai minus adalah penggunaan Bahasa Inggris yang nyelap-nyelip di banyak bagian di novel ini. Saya mengerti bahwa dalam novel urban atau metro pop, penggunaan Bahasa Inggris di tengah-tengah dialog dan narasi adalah sesuatu yang lumrah. Namun, alangkah baiknya jika disertai dengan grammar yang tepat dan typo yang diminimalisir. Jumlah kesalahan dalam grammar dan typo-nya sebenarnya tidak banyak, tapi untuk sebuah buku dari Gramedia, cukup untuk membuat saya menaikkan alis. Mungkin nanti kalau cetak ulang bisa disunting sekali lagi? Cuma usul lho.

Kafe, kopi, dan kafein juga memiliki peranan penting dalam Romansick, dan sebagai seorang penggila kafein, that makes me happy. A lot.
Kafe, kopi, dan kafein juga memiliki peranan penting dalam Romansick, dan sebagai seorang penggila kafein, that makes me happy. A lot.

Dari segi tipografi dan tata letak, Romansick bisa dibilang sangat bagus. Enak dibaca, dengan ukuran huruf dan spasi yang tepat. Sejak dulu, saya lihat memang buku-bukunya Gramedia sangat enak dilihat dan dibaca. Semoga para penerbit lainnya bisa mengambil pelajaran dari situ, karena, yah, dengan tampilan yang bagus–dikombinasikan dengan kepenulisan yang baik–menyelesaikan satu novel dalam satu perjalanan PP Jabodetabek bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan!

Akhirnya, terlepas dari beberapa kelemahan yang ada, saya pikir buku ini bagus. Well-researched, well-written, dinarasikan dengan baik beserta penokohan yang stellar. Dan di atas itu semua, saya tak mungkin tidak merekomendasikan sebuah buku yang sangat mengalir dalam penceritaannya sampai-sampai bisa saya tamatkan dalam satu hari di komuter.


  • Kategori: Novel
  • Judul: Romansick
  • Penulis: Emilya Kusnaidi
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Tebal: 280 halaman
  • Tahun Penerbitan: 2015
  • Format: Paperback
  • ISBN: 9786020312781

Photo credit: sampul Romansick adalah milik Gramedia Pustaka Utama. Eren Jaeger dan Mikasa Ackerman dari Shingeki no Kyojin adalah milik Kodansha Comics. Foto kafe di atas diambil dari Unsplash.

9 thoughts on “Romansick by Emilya Kusnaidi

  1. Kalau saya rasanya nggak pernah stuck di satu genre pas kecil. Malah waktu udah gede, jadi males-malesan kalau baca genre yang udah saya rada-rada alergi (macem Metropop#plaked). Dan ngomongin soal rating, saya tipe yang subjektif sangat :)) Asal pas baca nggak marah-marah, facepalm tiap menit ya okelah. Kalau nyampe bikin lompat-lompat girang atau nangis terharu ofc jadi makin oke. =))

    1. Asal pas baca nggak marah-marah, facepalm tiap menit ya okelah

      Benar banget 🙂 Biasanya kalau bukunya udah enak dibaca, saya kasih rating minimal empat. Kalau ceritanya mengalir dan tokoh-tokohnya menarik, pasti di atas empat. Dan kalau sampai bikin tertawa, menangis, terharu, pasti tuh buku langsung saya kasih lebih rating lima bintang! :mrgreen:

  2. Aku juga cuma suka beberapa genre aja kok yang nggak berubah dari kecil. Seiring bertambahnya usia, rasanya penasaran pengen nyobain genre2 lain. Tapi, sekarang jadi susah mau ngasih rating. Misal, utk buku romance yang pernah aku baca, buku A ratingnya 4/5. Nah, kalo dibandingin twist2 di genre favoritku, buku A cuma dapet 2/5. Aku jadi merasa nggak adil memperlakukan buku2 bacaanku hehehe.

    1. Hehe, dulu saya juga begitu! Susah buat kasih komentar atau rating atau berpendapat mengenai buku-buku dari genre yang bukan favorit saya! Tapi seiring berjalannya waktu, dengan semakin bervariasinya genre yang dibaca, kita juga pasti bakal lebih imbang kok dalam menilai! Semangat, yuk baca lebih banyak lagi genre buku! :mrgreen:

Leave a comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s