Looking for Alaska by John Green

Looking for Alaska - Cover (Gramedia)
Klik untuk membeli di Amazon

Novel pertama yang saya baca, yang pertama kali memicu ketertarikan saya terhadap dunia literasi, adalah Harry Potter. Saya masih sangat kecil saat itu, SD kalau tidak salah, dan mendapati buku dengan kisah-kisah magis, sihir, dan petualangan sungguh membuat saya jatuh cinta pada genre fantasi. Belasan tahun kemudian, di rak-rak buku saya, novel-novel yang mendominasi isinya adalah fantasi, fiksi ilmiah, atau petualangan. Sulit untuk melepaskan diri dari ketertarikan saya tersebut. Ketiga genre tersebut secara eksplisit memberi sebuah penghiburan bagi saya, apalagi di masa-masa sekarang ini, di mana saya sangat memerlukannya hampir di setiap harinya, setelah berjam-jam bergelut dan berkutat dengan angka-angka, mata kuliah, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Atau, sebagaimana yang dikatakan oleh beberapa teman dekat, saya membaca novel-novel tersebut sebagai pelarian.

Kesukaan saya terhadap genre-genre tersebut bisa dibilang cukup militan. Untuk waktu yang sangat lama, saya sangat jarang membaca buku novel dengan genre yang berbeda. Kalaupun ada, pasti saya membaca novel-novel yang sebangsa horor atau misteri (anehnya, saya sangat menyukai serial Sherlock Holmes. Baru belakangan ini saya menyadari bahwa kesukaan saya terhadap genre detektif tak lain tak bukan disebabkan oleh Harry Potter juga, yang secara sederhana sesungguhnya adalah sebuah kisah ‘detektif’ dengan Harry sebagai penyelidik dan Voldemort sebagai Moriarty-nya). Di antara novel-novel non-fantasi tersebut, salah satunya yang pernah saya baca saat saya masih SMA dalam Bahasa Inggris–dan baru bisa saya benar-benar pahami sekarang–adalah sebuah kisah karya John Green, penulis The Fault in Our Stars yang sedang naik daun setinggi-tingginya sekarang ini: Looking for Alaska.

Continue reading “Looking for Alaska by John Green”

Throne of Glass by Sarah J. Maas

Throne of Glass-cover
Klik untuk membeli di Amazon

Let’s be clear about something first: aku bukanlah penggemar novel young-adult, YA, atau dewasa-muda. Sebagian besar novel-novel dalam genre tersebut, menurutku, terlalu predictable. Karakter, cerita, plotnya, biasanya mudah ditebak. Narasinya pun seringkali berlebih-lebihan dalam membawa unsur romansa.

Mari kita cek sedikit trope karakter-karakter novel YA: seorang protagonis perempuan yang kuat, unik, dan memiliki konflik pribadi sebagai karakter utama; seorang protagonis (atau anti-hero) pria yang kuat, tangguh, cool, berkepala dingin dan sinis (bonus point: he’s always smirking) sebagai calon love interest; seorang protagonis pria yang baik, ramah, cerdas, yang menjadi sahabat baik si karakter utama (plus point: he’s in love with the MC, but don’t worry, he’ll get over it soon); serta sekumpulan orang-orang lain yang menjadi tim pembantu bagi tiga karakter tersebut, melengkapi, menambahkan konflik-konflik yang bisa jadi tidak penting sebelum akhirnya mereka semua bergabung untuk menghadapi The Big Bad One.

Ganti nama novelnya, ganti ras atau spesies yang menjadi sumber konflik (atau calon love interest), dan kau akan mendapatkan sebuah cerita YA yang hampir bisa dijamin akan laris ribuan eksemplar. Enak, ‘kan?

Oleh karena itu, pada saat aku pertama mendengar mengenai novel yang sedang naik daun satu ini, reaksiku adalah skeptis. Satu-satunya hal yang membuatku mau mengambil, membeli, dan membacanya hanyalah sampulnya yang keren. Total badass. Aku sudah menyiapkan diriku untuk kekecewaan, karena toh beberapa sampul keren belum menjamin isinya benar-benar berkualitas. Kupikir ini akan sama saja dengan kebanyakan novel YA lainnya. Trope yang sama, pembukaan yang sama, cerita yang sama…

Boy. I was wrong.

Continue reading “Throne of Glass by Sarah J. Maas”