Fangirl – Rainbow Rowell

fangirl
Klik untuk membeli di Amazon
  • Jenis : novel
  • Penulis : Rainbow Rowell
  • Penerbit : St. Martin Press
  • Tahun penerbitan : 2013
  • ISBN : 125-003-095-1

Dalam buku “Fangirl“, kita mengikuti seorang gadis remaja bernama Cath. Cath dan saudari kembarnya, Wren, adalah fans Simon Snow – sama seperti ribuan (atau jutaan) anak lainnya di dunia – dan mereka cukup serius dalam menjalankan kefanatikan mereka. Tidak dalam arti negatif, tentu saja – mereka memiliki poster Simon Snow, mereka mengetahui dunia Simon hingga ke dalam-dalamnya, dan Cath bahkan menulis fanfiksi slash antara Simon dengan Baz – salah satu tokoh utama lainnya di serial tersebut – dan terkenal di seantero internet.

Kemudian, masa remaja berakhir. Mereka masuk ke kuliah, ngampus, ikut perkuliahan, tinggal di asrama, berkenalan dengan orang-orang baru, lingkungan baru, dan kehidupan baru secara menyeluruh. Tak seperti saudari kembarnya, Cath tidak semudah itu menyesuaikan diri – dan jadilah cerita ini dimulai.

 ***

“Simon Snow is a series of seven fantasy books written by English philologist Gemma T. Leslie. The books tell the story of Simon Snow, an 11-year-old orphan from Lancashire who is recruited to attend the Watford School of Magicks to become a magician. As he grows older, Simon joins a group of magicians—the Mages—who are fighting the Insidious Humdrum, an evil being trying to rid the world of magic.

Since the publication of Simon Snow and the Mage’s Heir in 2001, the books have been translated into 53 languages and, as of August 2011, have sold more than 380 million copies.”

Pertama-tama, saya harus katakan bahwa ide buku ini sangat jenius. Simon Snow, serial yang digandrungi jutaan anak di seluruh dunia dalam novel Fangirl, merupakan ‘Harry Potter’-nya dunia Cath. Sama seperti Harry Potter, Simon Snow ditulis oleh seorang penulis Inggris, menceritakan perjalanan seorang anak laki-laki penyihir yang masuk ke sekolah sihir, dan mempelajari sihir guna menghadapi entitas jahat bernama Humdrum.

Namun, itu belum seberapa dibanding kejeniusan Miss Rowell menuliskan kisah yang sangat familiar: seorang remaja yang beranjak dewasa, masuk kuliah dan menghadapi dinamika baru, hingga menghadapi kisah cinta yang pertama kalinya. Cara beliau menggambarkan itu semua, menarasikannya, dan membawa pembaca masuk ke dalam kepala sang protagonis benar-benar level atas – saya terkejut saya tak pernah mendengar mengenai penulis satu ini sebelumnya, apalagi membaca bukunya.

Dialog-dialognya juga mantap, mengalir. Seluruhnya kuat, dan bahkan dilengkapi dengan bahasa-bahasa gaul (dalam bahasa Inggris, tentu saja, punten), dan sang penulis juga tak ragu untuk menggunakan bahasa-bahasa yang terkesan kasar atau eksplisit. Karena, sebagaimana kita semua tahu, remaja pun tidak ragu untuk menggunakannya.

Simply put: dialog-dialog di buku ini tuh remaja banget!

“Cath stepped away from the register, trying to get out of the way, clutching the book with both hands. There was an illustration of Simon on the front, holding up the Sword of Mages under a sky full of stars.

“Are you okay?” she heard someone—Levi?—ask. “Hey … are you crying?”

Cath ran her fingers along the cover, over the raised gold type.

Then someone else ran right into her, pushing the book into Cath’s chest. Pushing two books into her chest. Cath looked up just as Wren threw an arm around her.

“They’re both crying,” Cath heard Reagan say. “I can’t even watch.”

art by Siminiblocker
art by Siminiblocker

Di setiap pergantian bab, ada snippet – potongan-potongan adegan – dari serial Simon Snow maupun fanfiksi yang ditulis oleh Cath. Dalam setiap potongan adegan tersebut, perlahan-lahan kita bisa mengetahui seperti apa dunia dan cerita Simon Snow tersebut, apa-apa saja yang membedakannya dengan Harry Potter, dan bagaimana kisah tersebut berakhir.

Dan, nyaris sama dengan novel ini, Rowell menuliskan akhir yang melegakan: seorang protagonis yang, akhirnya, dapat melepas kelemahan-kelemahan masa lalunya, menemukan kekuatannya, dan mendapatkan alasan yang nyata untuk terus maju. Move on. Live. Dorongan untuk berprestasi, menjadi dewasa, sukses, dan bahagia.

Sudah lama saya tidak membaca novel remaja dengan ending sebagus itu, secara pribadi saya sangat terharu. Inilah novel remaja yang sangat superior: membawa kisah kehidupan yang familiar sekaligus menyampaikan pesan-pesan dengan jelas tanpa menggurui.

Singkat kata, solid 5/5 dari saya.

.

PS: Can someone please start writing Simon Snow series?

The Battle of the Labyrinth

The Battle of the LabyrinthKalau serial A Song of Ice and Fire digadang-gadang sebagai jawaban Amerika atas The Lord of the Rings, Percy Jackson and the Olympians awalnya terkenal sebagai tanggapan Barat atas serbuan Harry Potter. Bagaimana tidak? Keduanya adalah serial anak-anak, memiliki tokoh utama anak-anak yang tumbuh menjadi dewasa seiring berjalannya cerita, dan para tokohnya memiliki kekuatan magis.

Tapi, Percy memiliki kekuatannya karena ia mendapatkannya dari orangtuanya (lebih tepatnya: ayahnya) seperti yang Harry alami, Percy bukanlah penyihir. Dia, secara sederhana, adalah keturunan langsung keluarga entitas supersakti yang telah ada sejak jaman-jaman kuno.

Secara gamblang, Percy adalah putra dewa – lebih tepatnya, putra Sang Dewa Laut Poseidon.

Serial Percy Jackson terdiri atas lima buku. Dimulai dari The Lightning Thief dan diakhiri dengan The Last Olympian, serialnya mengisahkan petualangan-petualangan Percy Jackson dalam perjuangannya melawan monster-monster legendaris, menelusuri langit, bumi, dan dunia bawah (ya, dia menerobos ke neraka, bertarung dengan Dewa Kematian, dan menang), serta menghadapi para Titan yang bahkan lebih kuat dibandingkan Dewa-Dewi Olympus.

Dan The Battle of the Labyrinth – Pertempuran Labirin, buku keempat dari serial Percy Jackson – merupakan buku yang, menurutku, paling keren di antara buku-buku lainnya di serial tersebut.

Dimulai di Camp Half-Blood seperti buku-buku sebelumnya, Percy dan kawan-kawannya kali ini menghadapi petualangan yang agak berbeda. Luke, seorang kawan lama mereka yang telah berubah menjadi pengkhianat dan – sialnya – turut membantu membangkitkan Titan Chronos, telah menemukan sebuah jalan yang memungkinkannya untuk menyerbu ke Camp Half-Blood tanpa ada yang bisa menghadangnya. Jalan tersebut bernama Labirin Daedalus.

Untuk mencegah penyerbuan tersebut, Percy dan kawan-kawannya turut masuk ke dalam labirin. Tujuan utama mereka adalah mencari Daedalus dan membujuknya agar tak membantu Luke.

1

Ada beberapa alasan yang membuatku berpikir bahwa The Battle of Labyrinth merupakan buku terbaik dari serial Percy Jackson. Bukan berarti buku-buku lainnya tidak bagus lho, tapi The Battle of Labyrinth terasa seperti Prisoner of Azkaban. Ya, lagi-lagi, aku membandingkan kedua serial tersebut, tapi tak apalah. Bear with me, please?

Pertama, Pertempuran Labirin terasa seperti pengantar menuju klimaks, ujung dari sebuah kisah epik. Seperti Prisoner of Azkaban yang menjadi pengantar menuju dibangkitkannya kembali sang antagonis utama, Pertempuran Labirin mengantarkan kita menuju bangkitnya kembali Chronos, sang Titan, dan bangkitnya Typhon, monster yang mampu menaklukkan semua Dewa-Dewi seorang diri. Segalanya diikat, segalanya cabang-cabang cerita menyatu, menyimpul, menuju sebuah konklusi akhir.

Dan, ya, ini berarti Pertempuran Labirin juga terasa seperti Catching Fire-nya serial The Hunger Games: kedua sebelum terakhir. Menuju puncak.

Kedua, di buku ini kudapati perkembangan karakter yang sangat menarik. Dimulai dari Percy Jackson, yang menyadari bahwa pertempuran-pertempuran yang telah dia hadapi selama ini bukanlah masalah baik-buruk. Rick Riordan menggambarkan bagaimana Percy menyadari bahwa dunia tidak terdiri atas hitam-putih, melainkan kelabu. Dewa-Dewi memenangkan pertempuran melawan Titan di masa lampau, dan menyebarluaskan propaganda bahwa mereka adalah penguasa yang baik, peduli, sedangkan Titan adalah penjahat.

Tapi, benarkah demikian? Percy mendapati para Dewa-Dewi Olympus berbuat semena-mena. Menyiksa mereka yang kalah dalam perang, menginjak-injak manusia, menciptakan banyak blasteran – manusia setengah-Dewa – tanpa begitu memedulikan anak-anak mereka tersebut. Apakah Dewa-Dewi Olympus benar-benar baik? Kenapa Percy masih mau bertempur demi mereka?

Jawabannya ada di buku ini, dan disampaikan dengan luar biasa.

Ketiga, peningkatan skala aksi yang terdapat di buku ini sangat drastis. Serial Percy Jackson selalu terkenal karena aksi-aksinya yang memukau, ilustratif, dan seru. Adu pedang, adu cepat, dan adu hidup-mati melawan monster digambarkan dengan graphic di sini.

Simpelnya: di novel ini, Percy benar-benar jagoan. Kuat, jago, pintar, tapi masih tetap memiliki sifat-sifat heroik di dalam dirinya. Benar-benar pas dengan kategori seorang pahlawan dalam literatur-literatur klasik.

Sebenarnya ada satu lagi, yang keempat, meski menurutku – dan mungkin menurut sebagian besar pembaca lainnya – tidak begitu signifikan: kisah cinta yang romantis. Ringkas, padat, cuma diceritakan selama satu chapter, namun begitu tragis dan manis. Kalau boleh lebay, aku akan bilang ceritanya sangat mengharukan, dengan pengorbanan dan perjuangan. Cocok dengan tema heroik yang selama ini banyak sekali dicoba diterapkan oleh fiksi-fiksi heroik klasik, namun gagal untuk diwujudkan. Bahkan J.K. Rowling pun, menurutku, gagal saat mencoba menggambarkannya.

Calypso - by Julia108
Calypso – by Julia108

Di atas itu semua, Pertempuran Labirin adalah buku Percy Jackson yang paling rapi, runut, dan mengalir dalam penceritaannya. Totally recommended.