Dekut Burung Kukuk (The Cuckoo’s Calling) – Robert Galbraith

The Cuckoo's Calling (Dekut Burung Kukuk)

  • Jenis : novel
  • Penulis : Robert Galbraith
  • Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
  • Tahun penerbitan : 2014
  • Format : Paperback
  • ISBN : 978-602-03-0062-7

Pasca perkenalan saya dengan crime/detective, saya mulai membaca lebih banyak lagi buku-buku dari genre tersebut. Mengetahui genre kegemaran baru saya tersebut, beberapa teman di forum pembaca online menyarankan saya untuk membaca buku-buku crime/detective ternama.

Namun, sebagian besar yang disarankan oleh mereka adalah buku-buku yang sangat klasik: Sherlock, Agatha Christie – buku-buku yang, meski saya akui kualitasnya, tidak terlalu masuk dalam selera saya. Saya menginginkan buku detektif yang lebih modern, lebih realistis, yang sesuai dengan kehidupan di jaman sekarang ini. Misalnya: karya-karya John Connolly, Lee Child, dan Robert Ludlum.

Saat seorang anggota forum menyarankan saya untuk membaca sebuah crime/detective baru berjudul “The Cuckoo’s Calling”, karya Robert Galbraith, awalnya saya skeptis. Siapa Mr. Galbraith ini? Buku tersebut sepertinya adalah karya pertamanya. Apakah memang bagus dan layak dibaca?

Rujukan-rujukan dari Goodreads, Amazon, pun saya cek. Saat itu, ratingnya di GR hampir mencapai 4,3. Di Amazon hampir 5 bintang. Jadi, saya pikir lagi, “Kenapa tidak”. Saya pun membelinya, dan membacanya.

Saya sangat bersyukur melakukannya. Karena, terlepas dari ‘drama penulis’ yang menerpa berikutnya (dan mungkin sudah teman-teman ketahui juga), buku ini sangat menarik.


“Dengan bergulung-gulung berita cetak dan berjam-jam acara televisi yang dicurahkan untuk membahas topik meninggalnya Lula Landry, jarang sekali muncul pertanyaan ini: mengapa kita peduli?”

The Cuckoo’s Calling dibuka dengan sangat klasik: sebuah kasus baru saja terjadi, melibatkan seorang yang sangat terkenal sampai-sampai banyak wartawan berkerumun di TKP. Polisi menyidik kejadian tersebut, media menghembuskan cerita-ceritanya, dan sebuah kesimpulan tercapai: sang korban, artis sekaligus model yang sedang naik daun bernama Lula Landry, tewas karena bunuh diri. Case closed?

Tidak menurut John Bristow, saudara tiri Lula. Tak puas dengan kesimpulan yang dicapai para polisi, John meminta bantuan jasa dari Cormoran Strike, seorang veteran perang sekaligus penyidik swasta yang baru saja kedatangan pegawai magang bernama Robin Ellacott. Meski awalnya enggan untuk menyelidiki kasus yang sudah ditutup oleh polisi, Strike setuju untuk membantu John. Alasannya ada dua: hubungan persahabatannya dengan Charlie Bristow, saudara laki-laki John yang meninggal bertahun-tahun silam, dan tuntutan untuk mendapatkan uang.

Maka, Strike mulai menyelidiki. Ia menelusuri jejak kejadian perkara, mengamati TKP, dan mendatangi orang-orang yang dekat dengan Sang Burung Kukuk (The Cuckoo), panggilan populer untuk Lula. Melalui penyidikannya, ia menggali masa lalu Lula, kehidupannya dari tahun ke tahun, hingga sifat-sifatnya yang tersembunyi dari muka umum. Dengan misteri yang kian bertambah bersamaan dengan ditemukannya petunjuk-petunjuk baru, mampukah Strike memecahkan misteri kematian Lula Landry?


Ada dua hal yang pertama-tama membuat saya tertarik untuk membeli The Cuckoo’s Calling: cover-nya dan warna cover-nya.

Bukan berarti saya adalah orang yang biasanya menilai buku dari sampulnya – sebaliknya, saya sangat jarang memberi penilaian terhadap buku sebelum mulai membacanya. Tapi, mungkin ini bisa menjadi catatan juga untuk para penerbit: sampul Dekut Burung Kukuk adalah contoh sempurna dari “Sampul yang Menjual”. Dengan perpaduan warna biru, kuning, London yang klasik sebagai latar belakang dan seorang pria yang berjalan memunggungi calon pembaca, sampul tersebut lebih tampak seperti poster film blockbuster daripada sebuah buku kriminal/detektif.

Masuk ke kisahnya, Mr. Galbraith dengan gamblang menarasikan kejadian demi kejadian, adegan demi adegan, dengan gaya yang sangat visualistik. Contoh saja di bagian awalnya, yang berbunyi:

Gaung di jalanan terdengar seperti dengung lalat. Para fotografer berdiri berkerumun di balik garis batas yang dijaga polisi, kamera mereka yang berbelalai panjang siap siaga, napas mereka mengepul seperti uap. Salju jatuh berderai di atas topi dan pundak; jari-jari yang terbungkus sarung tangan mengusap lensa kamera.

Selain itu, satu lagi faktor yang sangat menjual di novel ini adalah karakternya. Tahu benar bahwa plot dan premise yang dimilikinya sangat klise, Mr. Galbraith memilih untuk mengedepankan karakterisasi tokoh-tokohnya. Cormoran Strike sangat menonjol sebagai ordinary guy yang getir, lelah, dan menjalani hidupnya dengan berat setiap hari. Robin Ellacott, yang awalnya memiliki aroma-aroma Mary Sue, perlahan juga menunjukkan segi manusianya. John Bristow pun digambarkan dengan jelas sebagai pria yang menyayangi saudarinya, meski akan ada sedikit twist di akhir mengenai dirinya.

Lebih dari itu, saya merasa beruntung karena membaca The Cuckoo’s Calling dalam versi Bahasa Inggris, jauh sebelum ketahuan bahwa penulisnya adalah J.K. Rowling yang bersembunyi di balik pseudonim. Tanpa ekspektasi berlebih seperti yang saya rasakan saat hendak membaca The Casual Vacancy, saya hanya mengharapkan sebuah novel crime/detective yang bagus – dan novel ini menyuguhkannya kepada saya. Cerita yang bagus, narasi yang gamblang, dan penokohan yang kuat menjadikan Dekut Burung Kukuk sebagai peserta kuat baru di dunia kriminal/detektif.

Ditambah, mengingat buku ini hanyalah satu dari serial panjang Cormoran Strike yang akan terbit lebih banyak ke depannya, saya dapat mengharapkan kualitas-kualitas cerita yang lebih tinggi di buku-buku selanjutnya.


Yang mati hanya bisa berbicara melalui mulut orang-orang yang ditinggalkan, dan melalui tanda-tanda yang terserak di belakang mereka.

Tak lupa, saya ingin memperjelas bahwa saya berniat menilai buku ini secara objektif tanpa memedulikan drama ‘Penulis Sebenarnya’. Sebagaimana telah teman-teman baca di atas, saya telah berusaha melakukannya. Oleh karena itu, ijinkan saya menambahkan satu hal: J.K. Rowling adalah penulis misteri yang handal. Seluruh serial Harry Potter, pada dasarnya, adalah serial misteri sihir – satu misteri untuk setiap tahunnya. Tidak mengherankan beliau dapat menjadi penulis genre crime/detective yang luar biasa.

Rating dari saya: 4/5

Every Dead Thing: Orang-Orang Mati

Every Dead Thing (Orang-Orang Mati)Tahun 2012 menandai tertariknya saya pada buku-buku genre crime/detective. Hal tersebut dimulai dengan membeli sebuah buku berjudul The Silence of the Lambs karya Thomas Harris. Tak jauh setelahnya, saya mulai mendalami genre tersebut lebih jauh lagi. Di antara buku-buku dari genre tersebut antara lain: Sherlock Holmes yang legendaris, Jack Reacher, John Grisham, dan masih banyak lagi.

Saya mendapati bahwa genre crime/detective cukup unik karena pada dasarnya, genre tersebut bisa dimasukkan dalam kategori misteri dengan tokoh utama seorang ‘detektif’ (saya beri tanda kutip karena pada dasarnya, meski melakukan penyidikan, tidak selalu tokoh utamanya adalah detektif a la Detective Conan atau Sherlock). Dengan demikian, genre tersebut akan mengikat pembaca dalam jalinan jaring plot yang rumit, misterius, dan sulit untuk diduga, namun bukan berarti tak bisa ditebak. Dengan menjadikan tokoh utamanya seorang penyidik – dalam hal ini, manusia biasa – crime/detective membuat penulis harus bisa sepintar-pintar mungkin membangun sebuah kasus yang sulit, tak tertebak, sembari memberikan petunjuk-petunjuk di sepanjang jalan ceritanya.

Dengan kata lain, menjelang akhir cerita, penulis harus mampu menyimpulkan segala benang-benang plot yang rumit tersebut dalam satu ikatan, sedemikian rupa sehingga pembaca dapat berkata, “Oh! Begitu rupanya!” alih-alih “Waduh? Kok bisa begitu?”

Dan itu bukanlah pekerjaan yang mudah.

“Yang kita hadapi di sini sepertinya adalah pembunuhan seksual – pembunuhan seksual yang sadis.”

Every Dead Thing adalah kisah pertama dari serial Charlie Parker, seorang mantan detektif NYPD yang mengalami tragedi begitu mengerikan hingga kewarasan dan kemanusiaannya terganggu. Tanpa ampun, di bab pertama kita disuguhkan dengan penceritaan yang mengerikan mengenai tewasnya istri dan anak Charlie Parker. Ia meninggalkan keduanya untuk minum-minum di suatu malam, dan kembali ke rumah untuk mendapati keluarganya telah dikuliti oleh pembunuh berantai. Para polisi dan agensi turun tangan untuk menginvestigasi, namun selain detil-detil tambahan mengenai cara mati mereka berdua (istrinya dikuliti hidup-hidup, anaknya menyaksikan hal tersebut utuh-utuh, dst.) tak ada petunjuk lebih lanjut mengenai pelakunya selain dugaan bahwa pembunuhnya – siapa pun itu – adalah orang yang sangat sadis dan gila.

Dengan kondisi tersebut, beberapa pihak mencurigai Charlie Parker sendiri sebagai sang pelaku. Meski alibinya terbukti dan ia dinyatakan bersih, Parker mengundurkan diri dari kepolisian, berhenti minum-minum, berhenti melakukan hal-hal lainnya yang tak berguna dan memutuskan untuk mengerahkan segala daya upayanya demi menemukan pelaku sebenarnya. Petunjuk demi petunjuk ia ikuti, membawanya pada seorang dukun wanita dengan kemampuan supernatural, kelompok-kelompok mafia berbahaya, dunia bawah tanah yang kejam, dan seorang pria yang dikenal dengan sebutan Si Pengembara – The Traveler.

Kami membersihkan tanahnya hingga mayat anak itu terlihat, meringkuk seperti janin dengan kepalanya tersembunyi di balik lengan kiri. Bahkan meski sudah membusuk, kami bisa melihat jari-jarinya telah dipatahkan, meski tanpa memindahkannya aku tidak bisa yakin anak ini laki-laki atau perempuan.

Seperti yang sudah saya ungkapkan di atas, novel ini memiliki deskripsi yang sangat detil. Narasinya begitu tajam dan grandiose, penulis benar-benar memanfaatkan sudut pandang orang pertama dengan sangat baik. Kita akan mengikuti Charlie Parker sepanjang perjalanannya, dengan deskripsi pergantian lokasi – dari perkotaan dengan gedung-gedungnya menuju Louisiana dengan rawa-rawanya, bahkan ke sang dukun dan para pembunuh berantai lainnya – yang sangat terjabarkan. Beberapa bagiannya dijamin dapat membuat perut tidak enak, terutama apabila pembaca adalah orang yang sensitif.

Secara keseluruhan, saya dapat membagi novel ini ke dalam tiga plot utama: yang pertama adalah jatuhnya Parker, sang tokoh utama, ke dalam jurang dendam yang begitu dalam, yang membuatnya mampu untuk melakukan apa pun – bahkan membuatnya ditakuti oleh orang-orang dunia jalanan. Yang kedua adalah perjalanan Parker lebih dalam ke dunia gelap, ke dunia bawah tanah, bertemu dengan orang-orang berbahaya, termasuk seorang monster yang membunuh dan menyiksa anak-anak untuk kesenangan. Monster yang, terlepas dari segala kejahatannya, dapat memberinya petunjuk mengenai keberadaan Sang Pengelana.

Dan akhirnya, yang ketiga, adalah klimaks yang membawa Parker ke dunia mafia dan menghadapi Sang Pengembara sendiri.

“Aku minum-minum pada malam Jennifer dan Susan terbunuh. Aku minum banyak sekali, tidak hanya malam itu, tapi malam-malam yang lain juga. Aku minum karena banyak hal, karena tekanan pekerjaan, karena kegagalanku sebagai suami, sebagai ayah, dan mungkin juga hal lain, dari masa lalu. Kalau aku tidak jadi pemabuk, Susan dan Jennifer mungkin tidak akan mati. Jadi, aku berhenti. Sudah terlambat, tapi aku berhenti.”

Kompleks, rumit, panjang, tebal dan penuh kengerian, Every Dead Thing cukup mengejutkan dan mengagetkan dengan kisahnya yang amat berterus terang mengenai tragedi yang bisa terjadi pada siapa pun dari kita. Andaikata, suatu hari, kita dihadapkan dalam situasi seperti itu – pulang ke rumah dan mendapati keluarga kita telah dikuliti hidup-hidup oleh seorang psikopat – apa yang akan kita lakukan? Menjadi gila? Menjadi diam saja, berharap polisi akan menangkapnya, berdoa Tuhan akan membalasnya? Atau mungkin mencoba memaafkan siapa pun pelakunya?

Apa yang Charlie Parker hadapi banyak mengingatkan saya mengenai Bruce Wayne, yang menyaksikan orangtuanya dibunuh; kemudian tentang The Punisher, bahkan Spider-man. Mereka semua menghadapi tragedi, menemukan kekuatan darinya, dan merasakannya sebagai berkah sekaligus kutukan. Hal-hal tersebut sangat saya sukai dalam suatu cerita karena, alih-alih menyampaikan pesan moral secara langsung ataupun tidak langsung, penulis memancing debat moral, konflik diri, dari para pembaca. Menurut saya, hal tersebut masih sangat jarang dimiliki oleh penulis dalam negeri, padahal seharusnya lebih banyak lagi penulis yang mampu untuk melakukannya.

Alasannya ada dua: Di satu sisi, pembaca menjadi lebih kritis. Di sisi lain, pembaca menjadi turut bertanya-tanya sepanjang cerita, dan dengan mengikuti sang tokoh utama, kita menjadi mengerti penyebab-penyebab dia memilih untuk melakukan apa yang ia lakukan, apa landasan moralnya, di mana empatinya berada, dan bagaimana ia bisa mempertahankan kemanusiaannya dalam posisinya tersebut.

Dan aku memikirkan Lisa: gadis kecil gemuk dengan mata gelap, yang bereaksi buruk atas perceraian orangtuanya, dan mencari kedamaian dalam ajaran Kristianitas yang aneh di Meksiko, dan akhirnya kembali kepada ayahnya.

Every Dead Thing cocok dibaca oleh Anda yang menggemari Thomas Harris, James Patterson, Lee Child, hingga gore-nya Junji Ito. Lebih jauh lagi, jika Anda ingin membaca ini, siapkan mental dan perut Anda. Dan tentu saja, karena isi dari ceritanya, buku ini tidak begitu cocok untuk remaja hingga anak-anak – kecuali jika psikis mereka sudah siap.

Selamat membaca!