Let’s be clear about something first: aku bukanlah penggemar novel young-adult, YA, atau dewasa-muda. Sebagian besar novel-novel dalam genre tersebut, menurutku, terlalu predictable. Karakter, cerita, plotnya, biasanya mudah ditebak. Narasinya pun seringkali berlebih-lebihan dalam membawa unsur romansa.
Mari kita cek sedikit trope karakter-karakter novel YA: seorang protagonis perempuan yang kuat, unik, dan memiliki konflik pribadi sebagai karakter utama; seorang protagonis (atau anti-hero) pria yang kuat, tangguh, cool, berkepala dingin dan sinis (bonus point: he’s always smirking) sebagai calon love interest; seorang protagonis pria yang baik, ramah, cerdas, yang menjadi sahabat baik si karakter utama (plus point: he’s in love with the MC, but don’t worry, he’ll get over it soon); serta sekumpulan orang-orang lain yang menjadi tim pembantu bagi tiga karakter tersebut, melengkapi, menambahkan konflik-konflik yang bisa jadi tidak penting sebelum akhirnya mereka semua bergabung untuk menghadapi The Big Bad One.
Ganti nama novelnya, ganti ras atau spesies yang menjadi sumber konflik (atau calon love interest), dan kau akan mendapatkan sebuah cerita YA yang hampir bisa dijamin akan laris ribuan eksemplar. Enak, ‘kan?
Oleh karena itu, pada saat aku pertama mendengar mengenai novel yang sedang naik daun satu ini, reaksiku adalah skeptis. Satu-satunya hal yang membuatku mau mengambil, membeli, dan membacanya hanyalah sampulnya yang keren. Total badass. Aku sudah menyiapkan diriku untuk kekecewaan, karena toh beberapa sampul keren belum menjamin isinya benar-benar berkualitas. Kupikir ini akan sama saja dengan kebanyakan novel YA lainnya. Trope yang sama, pembukaan yang sama, cerita yang sama…
Setelah menjalani masa hukuman selama bertahun-tahun, seorang pria bernama Shadow akhirnya dibebaskan dari penjara. Namun, tak ada penyambutan untuknya. Istri dan sahabatnya baru saja meninggal, rumah lamanya tak lagi bisa ia datangi, dan tak ada sanak atau kerabat yang mau menampungnya.
Dihadapkan dengan kondisi tersebut, Shadow bertemu dengan Mr. Wednesday. Seorang pria misterius, Wednesday meminta Shadow untuk bekerja untuk sebagai bodyguard. Tak memiliki pilihan lain yang lebih baik, Shadow pun menerima.
Yang terjadi setelahnya adalah rangkaian kejadian paling ganjil dalam hidup Shadow: ia dan Wednesday bepergian ke berbagai tempat di Amerika, dari pesisir Barat hingga Timur, dari bagian tengah yang kosong hingga kota-kota paling besar. Bersamanya, Shadow bertemu dengan pria dan wanita, kenalan Mr. Wednesday, masing-masing lebih tua dibandingkan dunia, dan sangat, amat, sakti. Bersamanya, Shadow akan mencaritahu jati dirinya, siapa ia sebenarnya, dan takdir yang akan ia penuhi.
Namun, entitas-entitas baru telah bangkit di Amerika. Pertempuran dahsyat antara dua kubu akan segera berlangsung, untuk menentukan nasib seluruh manusia di Amerika. Shadow harus menentukan tindakannya setelahnya, karena nasib jutaan manusia – bahkan Dewa-Dewa kini berada di bahunya.
-a-
Negeri ini luas. Sebentar saja, orang-orang kita mencampakkan kita, mengingat kita hanya sebagai makhluk-makhluk dari negeri mereka dahulu, sebagai benda-benda yang tidak ikut dengan mereka ke negeri yang baru.
Hal pertama yang perlu diingat sebelum membaca Dewa-Dewa Amerika adalah: ini adalah novel fantasy. Kedua, ini adalah novel urban fantasy, yang berarti genre fantasy di dalamnya dibawakan dengan latar kehidupan urban – atau, lebih tepatnya, kehidupan sehari-hari. Dan dengan genre tersebut, dunia yang digambarkan di novel ini cukup realistis, dengan ilustrasi yang memikat mengenai Amerika, sehingga – saat pertama kali saya membaca novel ini, dan tidak mengetahui genrenya – saya mengira ini adalah novel thriller/mystery.
Gaya penceritaan di novel ini sangat unik, a la Neil Gaiman. Saya menyebutnya sebagai dreamlike, penuh metafor dan bahasa yang kadang susah dimengerti. Hal ini cukup mengganggu saya di paruh-paruh awal novel, karena bahasanya terasa panjang dan kalimat-kalimatnya seperti direntangkan. Paragraf-paragraf pun tampak padat dan tebal. Tapi, untungnya penceritaannya sendiri sangat mengalir, sehingga mudah untuk diikuti.
Plus, mungkin gaya bahasa seperti itu memang cocok untuk sebuah novel yang menceritakan Dewa-Dewi, mitologi, legenda kuno, dan kemanusiaan sekaligus.
-a-
sumber gambar: luilouie (deviantart)
Satu hal brilian, salah satu yang paling menarik, dari American Gods adalah Neil Gaiman memasukkan unsur traveling di dalamnya. Sepanjang cerita, kita diajak mengelilingi Amerika – dari kota-kota pencakar langit dengan lalu lintas yang padat hingga apartemen kumuh di wilayah pinggiran, lalu dari gurun-gurun pasir menuju pegunungan berbatu. Ilustrasinya sangat padat, mantap, visual.
Sehingga, setiap kali saya membaca novel-novel atau buku-buku traveling lainnya, saya selalu membanding-bandingkannya dengan ini. Hingga kini, menurut saya hanya ada dua buku yang bisa menyamai – atau melebihi – visualistik yang ada di American Gods: Naked Traveler dan Edensor. Keduanya, sama seperti American Gods, memenuhi sebuah syarat suksesnya suatu kisah traveling. Syarat itu, sebagaimana telah diungkapkan dengan cemerlang oleh Cheri Lucas (editor di WordPress.com) di sini, adalah memasukkan unsur perjalanan ke dalam jiwa, bukan hanya raga.
Atau, lebih mudahnya: kita mengikuti perjalanan batin tokoh utama sepanjang perjalanan fisiknya.
Kenapa saya berkata bahwa hal tersebut sangat kuat? Karena, yah, sebagai tokoh utama, Shadow kurang sympathetic. Ia tinggi, besar, kuat, tangguh, macho, dan dia pendiam, tidak banyak bicara, kaku, serta kurang menyenangkan. Sangat sulit mendapatkan alasan kenapa pembaca harus menyukainya. Hal tersebut berpotensi menjadi bencana, karena kalau pembaca tidak bisa terhubung dengan tokoh utama, biasanya mereka akan sulit untuk terhubung dengan cerita.
Untungnya, sebagaimana saya telah tuturkan di atas, Mr. Gaiman turut membawa kita menyaksikan perkembangan Shadow – jalan pikirannya sepanjang perjalanannya, pengembaraannya, petualangannya. Beliau mengajak kita melihat bagaimana Shadow, perlahan tapi pasti, menyadari posisinya: bahwa ia, seorang manusia biasa, pria biasa, sedang terbelit perseteruan dahsyat antar Dewa-Dewi kuno dan baru. Bahwa ia akan mati, dan tak keberatan menghadapinya.
Hingga, bagaimana ia, menjelang akhir, mendapatkan jawaban akan semua pertanyaan yang telah menghantuinya sejak kecil. Jawaban yang, karenanya, membuat ia bersedia untuk kembali dan (jreng jreng!) menyelamatkan dunia.
-a-
Lebih dari seratus tahun kemudian, barulah Leif yang beruntung, putra Erik si Merah, menemukan kembali daratan itu, yang lalu disebutnya Vineland. Dewa-dewanya sudah menunggunya ketika dia tiba: Tyr, bertangan satu, dan Odin kelabu si penguasa tiang gantungan, dan Thor penguasa halilintar.
Membaca American Gods akan terasa seperti membaca Percy Jackson, tapi untuk versi dewasa, dan dalam versi yang sangat gelap serta membuat depresi. Buku ini jelas bukan untuk semua orang – di beberapa bagian, bahasa yang digunakan cukup eksplisit (meski sudah diselamatkan berkat penerjemahan Inggris ke Indonesia), plotnya rumit, dan seringkali terasa ngalor-ngidul.
Tapi, jika Anda menyukai cerita mengenai sejarah Amerika, sejarah para Dewa, dan melihat lebih dalam mengenai budaya Amerika – cara hidup penduduknya, kepercayaannya, asal-muasalnya – buku ini sangat saya rekomendasikan. Sedikit banyak buku ini juga mengajak pembacanya berpikir, bertanya-tanya, dengan bahasannya mengenai asal-muasal agama dan kepercayaan-kepercayaan kuno, serta kenapa – dan bagaimana – sebuah agama bisa menghilang dan Dewa-dewanya memudar.
sumber gambar: Nicolas Delort (blog)
Singkat kata, ini adalah novel urban fantasy paling serius, paling rumit, paling kompleks, namun paling memuaskan jika selesai dibaca. Not for everyone, though, tapi menurut saya pribadi kualitasnya sangat bagus. Karya Neil Gaiman di masa puncaknya.