Cell – Stephen King

cell

  • Jenis : novel
  • Penulis : Stephen King
  • Penerbit : Simon & Schuster, Inc.
  • Tahun penerbitan : 2006
  • Format : Mass market paperback
  • ISBN : 978-1-4165-2451-9

Sebuah entry dari Stephen King untuk zombie-apocalypse genre, Cell membawa kita kepada seorang protagonis yang, pada satu hari yang cerah saat ia sedang mengantri untuk membeli es krim, menyaksikan orang-orang menjadi gila dan memakan sesama. Penyebabnya satu: The Pulse, sebuah sinyal yang entah darimana asalnya dan disebarkan ke seluruh dunia melalui jaringan seluler global. Siapa pun yang sedang menggunakan handphone, di seluruh dunia, tertransformasi menjadi kanibal ganas yang tak kenal ampun.

Atau, benarkah seperti itu yang terjadi pada mereka? Observasi lebih lanjut oleh para protagonis mengungkap bahwa para “phoners“, orang-orang yang terkena pengaruh The Pulse, sesungguhnya masih memiliki kesadaran – sebuah hive mind, yang saling terhubung satu sama lain, dan menggerakkan para phoners. Dengan peradaban yang mulai runtuh oleh para phoners, para protagonis – dipimpin oleh Clay, seorang penulis novel grafis yang mencari anak laki-lakinya – memulai perjalanan panjang menuju peradaban yang tersisa, dan orang-orang yang selamat lainnya. Mampukah mereka bertahan hidup?

-a-

Three days ago we not only ruled the earth, we had survivor’s guilt about all the other species we’d wiped out on our climb to the nirvana of round-the-clock cable news and microwave popcorn.

Salah satu novel fiksi ilmiah/horor dengan kategori post-apocalyptic pertama yang saya dengar, namun salah satu yang baru akhir-akhir ini saya baca, Cell merupakan anomali dari karya-karya Stephen King yang biasanya. Tidak ada kisah mengenai kota kecil atau lingkungan yang tertutup seperti novel-novel King yang terbaru. Alih-alih, Cell membawa pembacanya ke dalam plot yang kencang, beruntun, kejadian demi kejadian yang runut dan menusuk, dengan latar yang luas dan konflik skala global.

Sumber gambar: Joblo.com
Sumber gambar: Joblo.com

Gaya penceritaannya pun mengingatkan pada King pada masa-masa awalnya. Meski berlatar dunia yang telah runtuh, pada dasarnya, inti konflik dalam kisah ini adalah para manusia: sifat dasar keturunan Homo sapiens, spesies yang – sebagaimana dituturkan oleh Stephen King dalam Cell – merupakan makhluk paling berbahaya yang pernah ada.

Maka, pertanyaan-pertanyaan pun berlanjut: Siapa yang menciptakan The Pulse? Kenapa ia membuat semua manusia menjadi kanibal, buas, dan mengerikan? Masih adakah yang selamat? Bagaimana cara bertahan hidup di dunia yang baru ini?

-a-

What Darwin was too polite to say, my friends, is that we came to rule the earth not because we were the smartest, or even the meanest, but because we have always been the craziest, most murderous motherfuckers in the jungle.

Sebagaimana Stephen King pada biasanya, beliau tidak malu-malu dalam menggunakan narasi dan deskripsi. Gore menjamur di sana-sini, dan setiap protagonis selalu berada dalam bahaya. Siapa pun bisa mati – bahkan tokoh utama yang tampak baik, menyenangkan, dan mudah untuk disukai. Kalau ada seseorang bilang George R. R. Martin adalah penulis paling kejam, cobalah suruh dia untuk membaca novel-novelnya Stephen King. Coba lihat bagaimana pendapatnya.

Dengan kata lain, membaca novel ini perlu kebijakan lebih besar. Banyak topik-topik yang membuat tidak nyaman di dalamnya. Seks, kekerasan, psiko-horor, thriller, sebut satu per satu – perlu kehati-hatian dalam membacanya. Plotnya yang kencang, ditambah dengan penokohan yang solid, pun menambah nilai novel ini. Tak diragukan lagi, Cell – meski terkesan klise, absurd, dan kuno untuk ukuran novel post-apocalyptic genre di masa kini – merupakan kisah horor yang sangat mengena.

Rating: 4/5

Carrie

CarrieSalah satu karya klasik, Carrie adalah buku pertama Stephen King yang kubaca saat SMP. Aku masih ingat, buku ini tergeletak di salah satu sudut perpustakaan yang memuat buku-buku berbahasa inggris. Tak ada yang mau membacanya, karena, apa boleh buat, di SMP-ku saat itu bahasa inggris belum begitu populer.

Carrie White, tokoh utama kisah ini, adalah gadis remaja yang memiliki seorang ibu religius fanatik. Ia tidak populer, dan seringkali menjadi korban ejekan, bully, karena ia dianggap mirip seperti ibunya: fanatik. Carrie sendiri hanya ingin menjadi gadis normal, tidak diejek, melirik cowok, berangan-angan bisa ikut pesta dansa, dan seterusnya.

Suatu hari, setelah rangkaian kejadian rumit, seorang temannya – merasa menyesal karena perbuatannya pada Carrie – meminta pacarnya untuk mengajak Carrie ke pesta dansa. Di saat bersamaan, seorang gadis lain dan kawan-kawannya berniat membuat Carrie menderita atas kesulitan yang telah diakibatkannya.

Kupikir ia tidak tahu ada hal seperti haid hingga setengah jam yang lalu.

Carrie adalah persentuhan pertamaku dengan hal-hal mengenai… kewanitaan. Bisa dibilang seperti itu. Sebagai cowok ABG yang hidupnya cuma di kalangan cowok-cowok ABG lainnya, membaca buku ini memberikan – sedikit banyak – pembukaan wawasan untukku. Aku menjadi bisa mengerti mengapa  cewek-cewek ABG lainnya, di SMP dan SMA, bertingkah yang menurutku agak ganjil.

Lalu, narasinya yang blak-blakan membuatku kurang nyaman – kasarnya agak jijik – dalam membacanya. Deskripsi darah yang membuncah, membanjir, korban-korban yang berjatuhan, juga sangat detil hingga membuat mual. Namun, kukira itulah poinnya. Sembilan tahun kemudian, membaca buku ini lagi dalam versi bahasa Indonesia, aku masih merasa mual juga. Mungkin kami – para lelaki – memang seperti itu, selalu takut pada wanita dari hati yang paling dalam.

Hasil dari perkara White menimbulkan pertanyaan-pertanyaan serius dan sulit. […] Bisakah kau menyalahkan fisikawan terkemuka seperti Gerald Luponet yang menyatakan bahwa semua ini hanya lelucon dan tipuan, bahkan setelah menghadapi bukti yang berlimpah seperti yang diajukan Komisi White? Karena jika Carrie White adalah kebenaran, lalu bagaimana dengan Newton?…

Banyak hal dalam buku ini menjadi perintis bagiku dalam memasuki dunia fiksi ilmiah. Yap, agak mengejutkan juga bagiku. Sebelum membaca Carrie, tidak pernah terbayang olehku ada yang namanya Telekinesis, Telepati, Pyrokinesis, dst.

Carrie membawa kita ke kehidupan remaja sehari-hari. Isinya lengkap: seorang remaja yang tidak populer dan sering di-bully, seorang remaja yang benar-benar menyesali perbuatannya dan ingin melakukan sesuatu demi menebus kesalahan, seorang cowok gentleman, seorang cewek (dan kawanannya) yang jahat, guru yang baik, kepala sekolah yang serbasalah, dan masih banyak lagi.

Hal-hal tersebut, saat itu, masih jarang diangkat: fiksi-fiksi klasik biasanya berkisar mengenai kehidupan di negara fantasi, di dunia di mana kehidupan dapat diuntai dengan cantik layaknya sutra, di tempat-tempat nun jauh, tempat kita bisa masuk ke dalamnya dan melarikan diri dari kehidupan (contoh: The Lord of the Rings, Chronicle of Narnia, 2001: Space Odyssey, Pride and Prejudice, Romeo and Juliet, etc.). Carrie merupakan salah satu perintis munculnya realistic fiction – fiksi yang mengisahkan kehidupan sekitar kita, mengurung kita dalam kenyataan – dan membombardir kita dengan kengerian yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Akibat keyakinan keagamaan pasangan White yang nyaris fanatik, Mrs. White tidak mempunyai kawan untuk menemaninya melewati masa dukanya. Dan ketika proses melahirkan dimulai tujuh bulan kemudian, ia sendirian.

Lalu, buku ini mengenalkan istilah ‘religious fanatic‘ jauh sebelum budaya pop mengangkatnya di film-film. Tahun ini, membaca Carrie lagi, aku merasa tertohok: kelompok fanatik bukan hanya ada di negara-negara jauh sana, dan mereka tak terbatas pada agama tertentu saja. Kelompok fanatik ada di TV, ada di sekitar kita, membanjiri jalan-jalan saat bulan puasa sekalipun, dan menghiasi halaman-halaman pertama surat kabar. Mereka tidak mau bertoleransi pada kita, dan kita tak mau bertoleransi pada mereka. Walhasil, tinggal menunggu seseorang untuk ‘terlecut’ – layaknya Carrie – dan membombardir dunia kita dengan kekacauan.

Tidak nyaman, ‘kan?

Padahal, tidak semua dari mereka jahat. Dan tidak semua dari mereka baik. Beberapa hanya bertindak atas apa yang mereka yakini, dan atas apa yang kita perbuat terhadap mereka. Seperti Mrs. White, maupun seperti Carrie sendiri.

Kami hanya anak-anak. Anak-anak yang mencoba melakukan yang terbaik.

– Susan Snell

Tapi, di atas itu semua, buku ini sebenarnya sederhana. Ia berkisah mengenai anak-anak, mengenai para remaja dan kehidupan mereka. Carrie, teman-teman di SMA-nya, bahkan orang-orang yang mengerjainya, hanyalah anak-anak. That hits close: membacanya lagi sekarang, aku ingat bagaimana dulu saat masih SMP dan SMA. Menjadi remaja, yang bingung, yang kaget, yang terpana-pana atas perubahan yang ada dan berusaha sekuat tenaga menyesuaikan diri, menonjol, menjadi yang terbaik. Atau, minimal, membaur dengan sesama.

Dan menurutku itu sangat fatal: kenyataan bahwa Carrie dan anak-anak lainnya, para korbannya, hanyalah anak-anak benar-benar fatal. Tragedi yang terjadi dalam buku ini bukan kesalahan mereka melainkan para orang-orang dewasa. Seandainya Mrs. White tidak fanatik. Seandainya guru-guru di sekolah lebih tegas. Seandainya orangtua cewek-cewek yang mem-bully Carrie bisa mengajari anak mereka lebih baik lagi. Dst.

Dan dengan umur kita yang semakin bertambah, sanggupkah kita menjadi orang dewasa yang baik?


Carrie sudah difilmkan tiga kali. Yang sekarang sedang tayang di bioskop, disutradarai oleh Kimberly Pearce dan dibintangi oleh Chloe Moretz, sudah kutonton juga. Cukup bagus, kalau menurutku. Cukup sesuai dengan jalan cerita aslinya, ide-ide dasarnya. Berikut trailernya, siapa tahu tertarik.